Langit mengisyaratkan kedamaian. Awan-awan menggantung bak buah-buahan yang siap jatuh ke tanah. Matahari tersembunyi entah di mana letaknya. Suasana begitu tenang untuk secangkir kopi dan sedikit gula di pagi hari menjelang siang.
Aku tahu sekali seharusnya di jam-jam saat ini matahari sudah tampak. Cahaya seharusnya tersebar merata di seantero penglihatanku. Hangat seharusnya sudah mulai menyengat kulitku yang coklat ini. Memang begitu seharusnya suasana di jam-jam seperti ini.
Tapi ini berbeda. Suasana begitu sendu tapi tak menyedihkan. Suasana terasa nyaman di hati. Meskipun udara tak sehangat biasanya tapi ini sungguh hangat bagi yang menghirup napas dalam-dalam di teras rumah ditemani dengan secangkir kopi.
Kopi yang kubuat ini bukan kopi sembarangan. Ada sejarahnya ketika ia sampai di tanganku dan kuseduh hampir setiap hari sambil menikmatinya di pagi ataupun senja hari. Kopi ini mempunyai seribu tafsir bagiku. Ketika mulai mengambilnya dengan sendok, mencampurnya dengan sedikit gula, menuanginya dengan air panas, mengaduknya, mencium aromanya, dan menyeruputnya, semua melahirkan tafsiran-tafsiran kerinduan. Entah kerinduan pada siapa dan untuk apa.
Sambil menikmati kopi ini aku membaca ulang surat-suratmu. Surat yang telah kau kirimkan berbentuk elektronik berhari-hari yang lalu. Aku membacanya dari awal. Satu per satu aku selesaikan suratmu dengan senyum dibbibirku. “Tak menyangka sudah sebanyak ini suratmu berada di kotak masukku”. Pada surat terakhir yang kau kirmkan, kau bercerita banyak hal tentang kegiatanmu akhir-akhir ini. Bahkan kau menyampaikan pula kegelisahan-kegelisahan yang kau alami. Tak lupa kau tutup dengan kalimat yang intinya kau ingin mengetahui kabarku terakhir dan apa saja kegiatanku. Ah itu selalu membuatku risau untuk bercerita banyak tentang diriku.
Surat-suratmu selalu segar untuk dibaca. Bahkan berkali-kali pun masih enak untuk dicerna dan melahirkan senyumsenyum kecil.
Kopi kembali kunikmati di bawah langit yang tak bisa diprediksi ini. Sebenarnya aku menanti langit di atas rumahku ini menurunkan hujan. Membasahi dedaunan dan jalan-jalan menjadi bersih. Dengan begitu kopi ini kenikmatannya akan bertambah seiring dingin yang nantinya menyerang tubuh ini.
Terakhir suratmu masuk di alamat emailku dua minggu kemarin. Bertepatan dengan Hari Sabtu. Pagi hari. Saat itu aku sedang membereskan kewajibanku. Aku masih ingat betul.
Tidak seperti bulan-bulan yang telah lewat, ketika kau mengirmkan surat pastinya seminggu kemudian aku akan membalasnya dengan cerita yang panjang. Cerita yang mungkin tidak penting, bahkan tidak layak untuk diceritakan. Tapi hanya itulah cerita yang aku punya. Rutin aku membalas surat-suratmu. Ya, meski kau pun kadang membalasnya sampai sebulan kemudian, tapi itu sungguh menyenangkan untuk dilakukan.
Tapi untuk saat ini aku belum bisa membalas suratmu itu. Aku masih ingin menikmati kegelisahanku dan menahan dulu cerita-cerita yang ingin aku sampaikan padamu. Itu mungkin membuatmu menunggu begitu lama. Atau mungkin kau tak peduli lagi dengan surat-surat kita. Atau kau lupa akan surat balasanku atas kesibukanmu di sana. Entahlah. Itu urusanmu tapi aku berterimakasih jikalau kau masih sempat-sempatnya menunggu balasanku.
Atau begini saja. Akan aku nikmati dulu suasana di teras rumahku ini, dengan secangkir kopi, dan surat-suratmu, dan pikiran-pikiran risau untuk membalas suratmu, sedang kau di sana sibuklah dengan kegiatan-kegiatanmu, yang kata suratmu, membuat berbagai macam kue, membaca buku, menonton film, dan sekali-kali nantinya kau boleh merindukan balasan atas suratmu.
Oh iya, apa aku tidak usah membalas suratmu.
Bukankah minggu depan kau datang ke kotaku, ingin berbagi cerita, ingin meluapkan rindu, yang terpenting ingin berpamitan untuk waktu yang lama?
Oh oke, pada saat itu saja akan aku balas surat-suratmu dengan ocehan ria yang bersahabat.