Review Book: Cinta Berpihak bagi Mereka yang Menunggu | Sirkus Pohon by Andrea Hirata

Title: Sirkus Pohon

Author: Andrea Hirata

Publisher: Bentang Pustaka

Published: 2017

Page: 383 p

ISBN: 978 602 291 4099

Kalau sudah cinta, menunggu dan rindu adalah bagian yang harus diterima.”

Begitulah inti dari kisah Sirkus Pohon, buku yang fenomenal dan membuat pembacanya limbung bersama tokoh dan ceritanya. Kita akan berkenalan dengan Hobri, pemeran utama sekaligus pencerita yang akan membawa kita dari awal halaman sampai cover belakang buku. Kita akan membaca kisah senangnya, sedihnya, kisah cintanya dengan Dinda, semangatnya dalam bekerja, dan banyak lagi.

Hobri adalah nama panggilan. Nama sebenarnya adalah Sobri bin Sobirinuddin. Laki-laki setengah baya yang mengarungi kehidupan di kampung kecilnya. Keberuntungan tidak selalu di pihaknya. Keluarganya -terutama adik perempuannya- selalu memarahinya karena kerjanya yang hanya serabutan tidak jelas. Gaji tidak sepadan dan banyak umpatan yang tidak bisa ditulis di sini.

Carilah kerja yang tetap boi. Yang ada absennya setiap pagi. Pakai seragam. Pakai sepatu mengkilap. Ada mandornya. Ada cuti setiap tahunnya. Ada liburnya. Kalau malas ada yang memarahimu.” Kurang lebih seperti itu.

Namun sayang, ijazah Hobri hanya sebatas SMP sedangkan kebanyakan pekerjaan mencantumkan ijazah SMA sebagai syarat utama diterimanya kerja. Hingga suatu hari pertemuannya dengan Dinda membangunkan semangatnya untuk tidak lelah mencari pekerjaan. Semangatnya setinggi langit dalam hal ini. Karena Dinda mensyaratkan harus punya pekerjaan tetap untuk bisa melamarnya.

Sirkus menjadi tempat melabuhnya diri Hobri dalam berselancar mencari pekerjaan. Karena syaratnya tak neko-neko dan mudah untuk dipenuhi. Asalkan jujur, ulet, dan pekerja keras. Hobri menjadi badut yang menghibur penonton di sirkus tersebut.

Meskipun sudah mempunyai pekerjaan yang tetap, usahanya untuk melamar Dinda masih terkendala oleh sesuatu yang tak bisa didefinisikan oleh akal sehat. Dinda linglung. Diam seribu bahasa. Jati dirinya lenyap tak ada yang tahu. Berdiam diri di rumah dan tak diperbolehkan oleh keluarganya keluar rumah.

Hobri terpukul. Dia kalap dalam segala hal. Separoh jiwanya telah linglung dan tak lagi mengenalnya. Hatinya telah tertambat dalam diri Dinda. Ia sudah tak bisa lagi mencintai yang lain. Dinda satu-satunya harapan hidupnya. Ibu dari anak-anaknya. Penghias rumah dan keluarganya.

Tapi tenang, di akhir cerita Hobri akan menemui kebahagiaannya sendiri. Dengan semboyan ‘Sekali Cinta Tetap Cinta’, keajaiban menghampiri hubungan Hobri dan Dinda. Kerja kerasnya menunggu Dinda terbayar lunas. Tentu saja dengan intrik-intrik seru yang Hobri lalui selama menunggu Dinda.

Selain cerita di atas, kita akan berkenalan dengan Tara dan Tegar. Dua bocah yang jatuh cinta karena perceraian masing-masing orang tuanya. Mereka dipertemukan di Pengadilan Agama Kota Kabupaten. Dari perantara sebuah kejadian yang tak bisa dilupakan Tara, Tegar menjadi Pembela yang nantinya menjadi 96 lukisan wajah yang menghantui Tara tahun demi tahun. Si Pembela begitu sebutan yang dipakai Tara untuk menggambarkan nama sketsa wajah Tegar waktu kecil hingga prediksinya saat dewasa.

Percintaan yang rumit antara Tegar dan Tara, tapi membuat gelisah tersendiri bagi pembacanya. Mereka sama-sama mencintai sejak pertama kali bertemu di kantor Pengadilan Agama. Menginjak dewasa mereka masih menyimpan rasa itu untuk sama-sama saling menemukan. Berbagai cara dan upaya telah dilakukan oleh masing-masing pihak. Dari hal yang masuk akal sampai hal yang konyol dilakukan. Tapi apa daya, Tuhan selalu punya cerita lain di baliknya.

Cinta akan datang pada mereka yang berjodoh.

Akhirnya Tara dan Tegar dipertemukan dalam Sirkus yang dikelola Tara. Pertemuan pertama Tara belum tahu bahwa Tegar adalah si Pembela yang ia cari mati-matian saat SMP dan SMA. Pun juga sebaliknya dari sisi Tegar.

Menurut saya dua kisah cinta di atas lebih seru apa yang telah dilalui oleh Tara dan Tegar. Karena masing-masing saling berusaha untuk menemukan satu sama lain. Masing-masing punya keinginan kuat untuk menemukan yang lainnya. Dan itu didasari oleh cinta dan rindu.

Sedang kisah Hobri adalah kisah perjuangan oleh seorang laki-laki yang jatuh cinta pada seorang perempuan. Ada perjuangan yang sangat dominan yang dilakukan oleh Hobri. Dia rela mengorbankan apa saja dan melakukan apa saja demi perempuannya, Dinda. Kisah cinta Hobri adalah kisah cinta seorang laki-laki yang sangat-sangat tulus. Ia mencintai dengan seluruh jiwa raga. Ia mencintai tanpa mengerti apa arti sebuah keluarga. Ia mencintai hanya untuk Dinda. Hobri adalah panutan dalam memperjuangkan sebuah cinta.

Seperti buku-buku yang lain Andrea Hirata selalu menyelipkan humor dan kisah konyol di dalamnya. Dalam buku ini saya bisa menyimpulkan bahwa dari hampir kesemua buku Andrea Hirata adalah tentang Kesetiaan seorang laki-laki dalam mencintai pasangannya. Entah itu perempuannya menerima atau menolak cinta yang diberikan. Hal itu bisa dibaca di tetralogi Laskar Pelangi, Ayah, dan Sirkus Pohon ini.

Sudah itu saja dari saya. Di akhir review ini saya mau mengutip satu pantun dari buku ini di halaman 296.

Anak dara pandai berlagu; Sembunyi malu di balik pintu

Duduk bersila ku di depanmu; Ingin ku dengar kisah-kisahmu.

Iklan

Review Life’s Golden Ticket: Taman Bermain yang Menyimpan Keajaiban dan Dapat Merubah Tujuan Hidup

IMG_20171107_210710

Title: Life’s Golden Ticket
Author: Brendon Burchard
Translator: Lanny Murtihardjana
Publisher: Gramedia Pustaka Utama
Published: 2008 (ind) 2007 (eng)
Page: 319 p
ISBN: 978-979-22-3853-2
More: Goodreads

“Kau bisa jadi siapapun yang kauinginkan, dan kau bisa melakukan apa saja yang kau inginkan.”

Seorang suami yang menangis tersedu-sedan di samping istrinya yang habis kecelakaan. Istrinya dalam keadaan kritis. Satu dua patah kata keluar dari mulutnya untuk menyampaikan sebuah keinginan yang aneh pada suaminya.

“Pergilah ke Bowman’s Park, carilah keajaiban, dan berjanjilah untukku.”

Si Suami dengan sedih dan masih dalam keadaan terpukul melihat kondisi istrinya, dipaksa Si Istri untuk saat itu juga pergi ke taman bermain yang disebutkan. Si Suami sebenarnya masih penasaran, empat puluh hari istrinya menghilang ketika kembali malah dalam keadaan kritis, dan dengan sekonyong-konyong menyuruhnya untuk pergi ke suatu tempat yang akhir-akhir ini diberitakan banyak kejadian mistis di sana.

Kenyataannya taman bermain itu sudah ditutup sejak dua puluh tahun yang lalu saat seorang bocah laki-laki terjatuh dari kincir ria dan meninggal. Bocah laki-laki tersebut adalah saudara Mary, Istrinya. Ada apa gerangan dan kemana perginya Mary selama empat puluh hari kemarin.

Untuk memenuhi janjinya terhadap Mary, Si Suami pergi ke Bowman’s Park. Ia menemukan mobil istrinya di sana, dalam keadaan normal dan masih utuh.

Di depan taman bermain itu, Si Suami menemukan keanehan-keanehan yang tak bisa dinalar oleh akal sehat. Taman bermain yang diberitakan ditutup itu, dengan seketika hidup dan banyak sekali pengunjung yang lalu lalang untuk mengantri masuk dan menikmati wahana-wahana yang ada di dalamnya.

Si Suami bertemu dengan Henry, orang tua yang baik hati dan rela berkorban untuk menjadi penjamin dirinya agar bisa masuk k ataman bermain. Kenapa harus dijamin? Karena Si Suami tidak punya tiket untuk masuk.

Di dalam taman bermain Si Suami memperoleh keanehan yang justru itulah keajaiban yang dimaksudkan Mary. Di Bilik Kebenaran, Kincir Ria, Tenda Pertunjukan, Perahu Bom-Bom, Kapal Bajak Laut, Komedi Putar, dan masih ada beberapa wahana lagi yang di dalamnya mengajarkan berbagai pelajaran menarik bagi Si Suami.

“Dalam taman bermain, kita lebih sering mengingat wahana yang ekstrim dan menakutkan ketimbang wahana yang menyenangkan dan membuat hati gembira.”

Life’s Golden Ticket tidak sekadar buku, melainkan benar-benar sebuah tiket untuk memasuki sebuah taman bermain dan pembaca bisa bergumul dengan wahana-wahana yang disediakan. Selain sebagai nostalgia masa kecil, ternyata banyak sekali pelajaran-pelajaran yang sering kita lupakan ketika berada di taman bermain.

Banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan setelah sampai pada halaman terakhir buku ini. Si Suami yang dimaksud sebagai tokoh utama novel ini adalah kita sendiri. Ya kita sendiri yang mengarungi wahana-wahana tersebut. Kita sebagai pembacanya. Dengan situasi yang bisa dikatakan sama. Permasalahan-permasalahan yang sama. Kecemasan-kecemasan yang sering kita alami. Ketakutan-ketakutan di masa depan. Keraguan-keraguan dalam mengambil keputusan. Bedanya semua itu dicerminkan dalam sebuah cerita yang diperankan oleh sepasang kekasih di antah berantah sana.

Si Suami ketika memasuki sebuah Tenda Pertunjukan dan di dalamnya sedang berlangsung pertunjukan oleh Tukang Sihir, ada beberapa pelajaran yang bisa diambil,

“Tapi sekarang ini aku hanya ingin berbagi rahasia tua ahli sihir: untuk bisa mematahkan mantra, kalian harus mengalahkannya dengan sihir yang lebih kuat. Kalau kalian ingin mematahkan Mantra Masyarakat, kalian harus meramu kemampuan sihir dalam diri kalian yang bisa mengalahkannya. Sihir atau keajaiban itu, yang aku yakin telah kalian lupakan, adalah pengharapan. Kalian harus membanjiri seluruh keberadaan kalian dengan pengharapan bahwa kalian mampu mulai lagi dari awal, bahwa ada lebih banyak peluang bagi kalian di luar sana, bahwa kalian akan menjadi pribadi kuat seperti yang telah ditakdirkan.” Hal 67.

Bagaiamana menurut kalian tentang paragraph di atas. Saya pikir-pikir ada benarnya apa yang telah dikatakan tukang sihir, bahwa kebanyakan dari kita telah terkena Mantra Masyarakat. Pada intinya kita menuruti perkataan dan permintaan masyarakat. Kita harus seperti ini, jika tidak maka akan ini. Kita harus bekerja di ini, biar nanti bisa mendapatkan gaji segini. Dan bla bla.

Kita kadang takut melakukan sesuatu yang sebenarnya kita inginkan, sangat-sangat kita inginkan, tetapi pada akhirnya tidak mendapat pandangan positif di masyarakat atau keluarga. Kita cenderung lebih mementingkan kebahagiaan orang lain ketimbang kebahagiaan sendiri.

Dan masih banyak lagi.

Satu lagi cuplikan sederhana yang sangat saya suka. Pesan ini disampaikan oleh penjaga Perahu Bom-Bom kepada Si Suami.

“Ada dua jenis anak. Ada yang suka berputar-putar, dan ada yang berjiwa pelaut. Yang kusebut pelaut tadi adalah anak-anak yang melompat ke dalam perahu lalu langsung menuju perairan bebas –mereka adalah para penjelajah. Mereka punya impian dan langsung mengejarnya. Mereka ini pemimpi sekaligus pelaku. Mereka tahu persis ke mana mereka hendak pergi. Tak peduli apa pun yang menabrak mereka, mereka akan mencapai tujuan, sebab mereka terus mengarah ke sana. Merekalah yang kau dengan berteriak ‘minggir, minggir!’ Para pelaut ini tidak segan-segan menyuarakan keinginan mereka. Saat aku meniup peluit untuk memberitahukan bahwa waktu sudah habis, para pelaut tadi selalu berhasil mencapai sisi di seberang titik awal. Dengan senang hati mereka keluar dari perahu, sebab mereka telah mencapai apa yang telah mereka inginkan. Mereka telah mencapai tujuan dan bersenang-senang saat menabrak perahu-perahu lain.

Kemudian ada jenis yang berputar-putar, well, sebenarnya dia juga mengawali seperti para pelaut. Dia juga ingin menuju perairan bebas. Tapi segera sesuadah semua anak mulai bergerak, ia langsung menyadari bahwa masih ada banyak anak lain di kolam. Ia menyadari betapa sulitnya mengarahkan perahu. Jadi ia lalu melakukan sesuatu yang unik. Ia beranggapan: sungguh sulit untuk mengarahkan perahuku tanpa bertabrakan dengan yang lain, jadi aku takkan mampu mencapai sisi seberang. Dia cepat menyerah, dan berkata, ‘Well, sepertinya aku takkan bisa mencapai seberang, jadi lebih naik aku bersenang-senang sendiri dan berputar-putar di sini’. Ia melakukan sesuatu yang sama sekali tidak membantunya mencapai tujuan semual, dan juga tujuan anak-anak lain. Ia berputar-putar di tempat, hingga bertabrakan dan menghalangi anak-anak lain yang ingin tiba di seberang, bahkan tanpa menyadarinya. Saat aku membunyikan peluit supaya semua berhenti bermain, mereka inilah yang terakhir merapat di dermaga, dan mereka hampir selalu kecewa dengan permainan ini.” Hal 197-198.

Sekali lagi, buku ini bukan sekadar buku bacaan, melainkan sebuah tiket di mana Anda akan di bawa berjalan-jalan dan bernostalgia dengan masa kecil Anda.

Setelah selesai membaca buku ini, Anda sedikit maupun banyak akan mengerti masa lalu, masa sekarang, dan masa depan dalam hidup Anda. Anda akan mengetahu hal-hal apa yang penting dalam hidup Anda dan hal-hal yang perlu ditinggalkan dalam hidup Anda.

Percayalah, apa yang ada dalam buku ini tidak sekadar cerita-cerita fiktif belaka, ada pelajaran berharga di dalamnya.

Akan tiba saatnya ketika Anda percaya
semuanya sudah berakhir.
Justru itulah permulaannya.
~Louis L’Amour

Atau Mungkin Senyumnya yang Membuatmu Bergetar

Seratus kata manis, yang mungkin bisa membuatmu tersenyum sedemikian rupa, yang membuatmu tertawa terbahak dengan segala kelelahan rahang-rahangmu, yang akan membuatmu melayang ke angkasa bersama bulan dan bintang dan langit biru. Atau seribu puja-puji menawan yang menghangatkan hatimu, yang membuat jiwamu menjadi lebih teduh, yang membuat matamu berkaca-kaca hingga pandanganmu mengabur, yang akan membuat hari-harimu berbunga dengan wewangian yang harum layaknya bunga-bunga kenanga dan melati.

autumn-2789234_960_720

Atau sesosok wajah yang anggun, yang menari dalam pelupuk mata dan hatimu, yang berjingkat-jingkat memasuki ruang dada dan kepalamu, yang berlari ke sana ke sini memenuhi fikir dan anganmu. Atau mungkin puisi-puisi dan surat cinta, yang akan mengoyak kedamaian jiwamu, yang membuatmu gelisah, yang apabila kamu makan dan minum tak terasa lagi nikmatnya, yang apabila kamu mencoba memejamkan mata hanya bayang dan senyum yang terlintas, yang apabila kamu membacanya satu demi satu kata yang tertulis serasa melayang, kamu terlalu berlebihan.

Atau mungkin sapaan halus yang keluar dari bibirnya, yang bisa membuatmu hitam-putih memeluk diri sendiri, yang membuatmu menjadi lebih bersemangat, yang membuat hatimu berbunga-bunga, yang membuat wajahmu memerah, yang membuat tangan dan kakimu lemas tak berdaya.

Atau saat dia tertawa, dengan senyum manisnya, dan keindahan matanya, yang membuatmu hafal nama-nama surga, yang membuatmu terkapar dalam mimpi-mimpi yang nyata, yang akan menuntunmu melewati hamparan bunga-bunga mawar di pekarangan rumahnya.

Atau saat jalan-jalan basah, daun-daun kering berguguran, bunga-bunga mekar berbalut embun, rumput-rumput mulai semi, burung-burung berkicau dengan merdunya, awan-awan mulai menghias langit, atau saat Tuhan mulai melukis langit menjadi lebih biru dari sebelumnya, dan kamu mengamatinya dengan seksama, kamu mengetahuinya, kamu menjadi saksi itu semua.

Atau saat genangan-genangan itu mulai memperlihatkan bayang-bayang dunia, ada kamu dan dia berselimut gerimis, meratapi keindahan masing-masing, meringkuk dalam diam, mengingat masa lalu, menerjemahkan kenangan, menafsirkan mimpi-mimpi, dan mulai merangkai rindu kembali.

Atau semua tentang kebahagiaan di dunia, yang membuatmu terdiam, terpejam, dan terkenang. Atau tentang kebahagiaan dalam dadamu, yang membuatmu rindu, semakin dalam semakin candu, dan mulai berontak untuk sekedar bertemu. Atau tentang kebahagiaan satu sama lain, ceritamu hanya berkutat tentangnya, dan ceritanya baru akan mulai menuliskan kisah tentangmu.

Pada akhirnya, dirimu bukan lagi milikmu, dan dirinya bukan lagi tak ada yang punya.

 

#OktoberBahagia

Review Buku Tentang Seorang Pencuri Buku Langka yang Rela Dipenjara Demi Koleksinya

Title: The Human Who Loved Books Too Much. Kisah Nyata Tentang Nyata Seorang Pencuri, Detektif, dan Obsesi pada Kesusasteraan.
Author: Allison Hoover Bartlett
Translator: Lulu Fitri Rahman
Publisher: Pustaka Alvabet
Published: 2010 (Indonesia)
Page: 282
ISBN: 978-979-3064-819
More Info: Goodreads

Saya pertama kali melihat buku ini dan memegangnya di perpustakaan terbaik favorit saya. Membacanya di bagian sampul dan langsung tertarik untuk segera meminjamnya. Buku ini sudah lima kali saya pinjam. Empat kali awalnya saya hanya meminjamnya saja, tidak lantas membacanya. Baru seminggu terakhir ini saya ada waktu luang untuk merampungkannya.

Allison Hoover Bartlett menulis buku ini untuk menunjukkan pada dunia bahwa ada kisah-kisah lain yang perlu diceritakan di balik sebuah benda yang bernama ‘buku’. Perjalanannya ke San Fransisco, New York, dan kota-kota besar lainnya tujuannya hanya satu, mengumpulkan kisah-kisah dari berbagai agen buku langka dan merangkainya menjadi buku ini.

Di dalam buku ini kita diajak untuk mengenal John Gilkey, seorang pencuri buku yang berpengalaman. Dia habiskan masa-masa hidupnya untuk mengoleksi buku-buku langka. Namun sayang, caranya tidak sesuai aturan. Dia mengoleksi buku langka dengan menipu para agen buku langka. Berbekal kartu kredit dan cek kosong dia mengulang-ngulang prakteknya dan selalu berhasil. Tidak selalu. Beberapa kali ia ketahuan dan dijebak untuk kemudian dijebloskan ke penjara.

Jika suatu hukum atau sistem dipandang tidak adil, maka untuk meruntuhkannya atau menentangnya, tidaklah salah“. -Nietzche.

Petikan di atas menjadi salah satu dasar mengapa Gilkey membenarkan perbuatannya. Ia merasa dicurangi kehidupan. Orang-orang berbuat tidak adil padanya. Orang-orang itu (para agen dan kolektor) diberi kekayaan untuk membeli buku-buku langka sesuai keinginannya. Berapapun harganya mereka mampu membayarnya. Sedang Gilkey, ia tidak mampu membeli buku-buku favoritnya. Padahal ia sangat ingin memilikinya dan ingin menunjukkan pada orang-orang bahwa ia bisa mengoleksi buku-buku langka itu (pamer).

Gilkey mencintai buku sebagaimana Ken Sanders mencintai buku-buku itu. Mereka berdua seorang bibliomania sejati. Gilkey berperan sebagai tokoh antagonis (padahal kisah ini nyata) dan Sanders memerankan tokoh protagonis yang menyelamatkan buku-buku langka dari tangan pencuri.

Sanders, pemilik toko buku ‘Sanders Rare Books’ yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Bidang Keamanan ABAA (Asosiasi Pedagang Buku Antik Amerika) sangat geram dan marah pada perbuatan Gilkey atas rekan-rekannya di ABAA. Sanders memperkirakan buku-buku yang selama ini dicuri Gilkey mencapai nilai jutaan dollar. Maka dari itu ia selalu waspada dan setiap ada kabar pencurian salah satu buku langka ia cekatan untuk mengabarkannya ke seluruh anggota ABAA melalui email.

Sanders berperan penting dalam kisah ini. Ambisinya untuk memenjarakan Gilkey didasari pada kecintaannya terhadap buku-buku langka. Saat beberapa kali menjebak Gilkey dalam sebuah pencurian buku, Sanders lah yang berkoordinasi dengan para detektif dari kepolisian. Ia juga bersikeras untuk menyeret Gilkey ke pengadilan dan menjatuhinya dengan hukuman yang berat. Padahal faktanya pencurian buku tidak terlalu menjadi perhatian khusus bagi aparat keamanan di Amerika waktu itu.

Mengagumkan. Satu kata bagi mereka berdua yang ingin saya tuliskan. Gilkey seorang kriminal yang rela menukar kebebasannya hanya untuk memiliki buku-buku. Sanders mengabdikan diri sebagai detektif buku langka untuk menangkap para pencuri yang mencoba merugikan para agen buku langka. Keduanya mempunyai ambisi yang mengagumkan. Hanya demi sebuah benda yang bernama ‘buku’ dalam buku ini dikisahkan berbagai hal ditempuh dan dilalui. Tentu terlepas dari isi buku dan muatannya.

Penulis juga seorang pecinta buku, Bartlett menjelaskannya di salah satu lembar buku ini. Tetapi kecintaanya tidak seserius Gilkey dan Sanders. Penulis menceritakan kisah ini karena didorong rasa kagumnya terhadap para pecinta buku langka. Yang tidak hanya sebatas cinta buku tetapi mereka mengoleksinya dari segi tahun cetaknya, kertasnya, sampulnya, bahkan kulit sampul yang membungkus buku itu.

Dalam buku ini ada beberapa judul buku yang disinggung dan dikatakan menarik. Buku-buku tersebut seperti The invisible man karya H. G. Wells, Ulysses karya James Joyce, Terra Nostra karya Carlos Fuentes, A Room of One’s Own karya Virginia Woolf, Lolita karya Vladimir nabokov, The human comedy karya William Saroyan, dan George Orwel yang menulis buku 1984. Masih banyak lagi judul buku yang tidak bisa saya tuliskan. Termasuk Harry Potter cetakan pertama juga diceritakan dalam buku ini.

Mengetahui judul buku-buku di atas ingin rasanya saya bisa membaca semuanya. Merasakan ketertarikan yang sama dengan Gilkey ataupun Bartlett atas cerita-cerita dan inspirasi yang keluar dari buku-buku tersebut.

Akhirnya, buku ini saya rekomendasikan bagi para pecinta buku yang ingin mengetahui bahwa cerita di balik sebuah buku begitu mempesona dan tentu saja ada kriminalnya. Kisah nyata dalam buku ini menggambarkan bahwa hukuman seberat apapun hampir tidak berdaya dalam mengecilkan kejahatan nafsu. Nafsu memiliki buku langka. Nafsu ingin mengoleksinya. Nafsu ingin dikagumi. Nafsu ingin terpandang dan terpelajar. Nafsu seperti apa yang telah digambarkan pada diri Gilkey.

#OktoberRain

Pendakian Pertama Saya Gunung Merapi

Sebuah cerita hanyalah menjadi cerita saja jika tidak diceritakan melalui tulisan ataupun lisan. Dari setiap sisinya mungkin kita akan mendapatkan pelajaran penting. Atau dari sisi yang lain kita bisa memperoleh kenangan-kenangan yang telah lalu yang hampir saja tak pernah terbersit ketika melakukan kegiatan sehari-hari. Atau apabila dilihat dari sisi psikologi kita setidaknya akan mendapatkan perasaan bahagia. Karena bahagia itulah cerita-cerita itu dimunculkan kembali dalam bentuk kata-kata dan kalimat.

IMG_43042

 

Cerita pertama yang ingin saya angkat untuk post pertama di Bulan Oktober ini adalah cerita perjalanan saya saat mendaki gunung. Gunung yang menjadi percobaan sendi-sendi kaki ini adalah Gunung Merapi. Salah satu gunung paling aktif di sekitaran Yogyakarta.

Yes. Perjalanan waktu itu dimulai pada siang hari sekitar pukul dua siang. Kami berangkat berlima dari Jogja menuju Magelang untuk tujuan Pos Pendakian Selo. Dari Jogja kami menggunakan tiga motor. Satu motor dikendarai oleh Kang Farhan dan Anton, satunya lagi saya lupa namanya (karena bukan teman akrab), sedangkan saya sendiri menggunakan motor kesayangan yang saya beri nama The Legend (Legenda).

Meskipun motor yang saya kendarai adalah motor tua dan jalan menuju Pos Selo penuh dengan tanjakan dan tikungan, Alhamdulillah kami selamat sampai Selo sekitar pukul lima sore.

Pada tahun 2013 waktu itu harga tiket sekitar sebesar 10.000 untuk satu orang dan parkir satu motor kena harga 5.000 rupiah. Saking lamanya saya lupa-lupa ingat suasana ketika sampai di Selo. Pokoknya kami mulai mendaki itu setelah Sholat Maghrib.

“Kita mendaki malam saja. Soalnya kalau siang panas banget dan energi bisa cepat terkuras.” Jelas Kang Farhan selaku pemimpin pendakian kami.

IMG_43222

Kang Farhan ini merupakan yang paling tua di antara kami. Meskipun dia seangkatan di kampus dengan saya, berbicara umur, dia lebih tua dua tahun dari umur saya. Saya paling muda waktu itu. Tapi perihal kuat, kita sama-sama kuat untuk mendaki Gunung Merapi ini. Hihihi.

Sedang Bang Anton dan dua kawan lainnya, mereka semua satu angkatan ketika masih di Jurusan Fisika Murni dengan Kang Farhan. Bila diartikan dari kami berlima, sayalah yang menjadi orang baru di antara mereka.

Hari baik yang kami pilih untuk menikmati perjalanan waktu itu adalah Hari Sabtu. Maklum mahasiswa baru, Senin sampai Jumat penuh dengan mata kuliah dan praktikum yang tidak bisa tidak harus dihadiri. Malam Minggu yang seharusnya dipakai untuk leyeh-leyeh atau ngopi bersama atau main ke rumah teman dengan alasan tugas atau jalan-jalan berdua, kami lebih memilih untuk menapaki jalan-jalan yang sempit, langkah demi langkah untuk mencapai puncak gunung.

Harapan terbesar kami terlebih saya adalah melihat sunrise dari puncak gunung. Menikmatinya dengan kabut tipis dan segelas kopi hangat di tangan. Mengambil beberapa foto sebagai kenang-kenangan –karena  video terlalu memakan memori, sebagai oleh-oleh atau bahan yang mungkin suatu saat bisa diceritakan. Dan well, sekarang saya bisa bercerita dan mengingat-ingat kembali karena ada beberapa foto yang saya ambil dengan kamera digital.

Dalam pendakian pertama saya untuk menaklukkan gunung, tentu kelelahan menyerang begitu cepatnya. Sebentar-sebentar istirahat. Sepuluh menit mendaki, dua menit istirahat. Meskipun saya begitu lelah, masih ada mbaknya yang menutupi kelelahan saya. Karena perempuan kalau mendaki bisa dipastikan sebentar-sebentar lelah. Haha.

Istimewanya Merapi dari gunung-gunung yang pernah saya daki setelahnya yaitu mendekati puncak sama sekali tidak ada pepohonan. Hanya batu-batuan kecil dan beberapa batuan besar yang kami temui. Itupun kami kadang merangkak untuk menyeimbangkan tubuh agar tidak terjatuh ke samping yang bisa dipastikan sangatlah curam. Lebih mirip panjat tebing dengan kemiringan hampir 60 derajat.

Kami sampai di Pasar Bubrah atau juga dikenal dengan sebutan Pasar Setan sekitar pukul sebelas malam. Istirahat sejenak lalu dilanjutkan dengan mendirikan dua buah tenda. Malam minggu yang asyik.

Kami istirahat menghilangkan lelah. Menjelang pukul empat pagi kejadian mendebarkan menerpa tenda-tenda kami. Waktu itu saya paranoid banget. Lha wong baru pertama kali mendaki langsung mengalami senam jantung yang membuat dag-dig-dug-dyar.

Angin gunung menyapa tenda kami dengan ganasnya. Saya di dalam tenda saja sampai ketakutan. Suara wus-wus-wus yang sangat kencang, serta tenda yang moyag-mayug seperti mau roboh, kami bertiga di dalam tenda sontak duduk dan memanjatkan doa-doa keselamatan.

Sesekali angin berdamai dengan berhenti menerpa tenda kami. Kami lega. Tetapi angin susulan yang kencangnya sebelas-duabelas kembali menerpa untuk menguji doa-doa kami. Angin disertai gerimis tadi baru berhenti total sekitar pukul tujuh pagi. Byar, nggak ada sunrise dan nggak ada foto-foto dengan latar sunrise. Sedih.

Suasana jam tujuh di luar tenda masih dipenuhi dengan kabut. Puncak merapi di atas sana sama sekali tidak kelihatan. Jadinya sambil menunggu kabut hilang, kami memasak mie dan kopi di dalam tenda menggunakan kompor portable. Ini baru namanya camping.

Sedihnya lagi kami tidak melanjutkan mendaki sampai puncak Merapi. Saya hanya berjalan-jalan di sekitaran tenda untuk mencari suasana baru dan menikmati pagi yang masih super dingin.

“Kalian kalau mau mendaki sampai puncak silahkan. Aku di sini saja menunggu kalian di tenda.” Saya tidak tahu mengapa Kang Farhan tidak mau menyelesaikan pendakian dengan menaklukkan puncak Merapi. Meskipun dia menyilahkan kami untuk merasakan puncak Merapi dan dia rela menunggu di tenda, kami tetap saja tidak ada yang melanjutkan perjalanan.

IMG_43302

Saya masih trauma dengan angin sepoi-sepoi yang menggetarkan tenda fajar tadi. Jadinya kami berlima hanya foto-foto dengan mengambil latar puncak merapi. Itupun harus bergegas, karena kabut sesekali masih menyelimuti puncak dan mengganggu keindahan foto.

Yang kami temukan di sekitaran tenda adalah hamparan bebatuan sisa-sisa letusan Merapi entah tahun berapa. Kami hanya menemukan beberapa semak yang tersembunyi di balik bebatuan besar yang memberi warna hijau di hamparan warna abu-abu bebatuan. Dari batu-batu itu saya menemukan beberapa batu yang ditumpuk keatas berisi tiga sampai empat batu.

Melihat itu saya menerka-nerka, apa karena ini Pasar Setan terus ada beberapa batu yang ditumpuk-tumpuk gitu atau itu hanya kerjaan para pendaki lain yang memang mempunyai hobi menumpuk batu alias rock balancing. Sumpah batu-batu itu memberikan hawa magis yang bila diteruskan menerka-nerkanya akan membuat merinding.

IMG_44182

Seingat saya, kami hanya dua jam menikmati pagi di Pasar Bubrah. Mengambil foto-foto dengan mencari latar yang menunjukkan bahwa kami sedang berada di gunung. Haha.

IMG_44382

Dari cerita-cerita di atas masih ada satu cerita yang sangat menarik perihal pendakian di Gunung Merapi. Cerita itu berawal setelah kami selamat sampai di Jogja. Kami sampai di Jogja pada Minggu sore. Senin paginya beberapa televisi menyiarkan berita bahwa Gunung Merapi telah meletus. Bahkan abu dari letusan tersebut sampai ke Solo dan membuat pelataran dan jalanan menjadi putih. Alhamdulillah banget kami sudah sampai di Jogja dan tak lupa kami berdoa semoga tidak ada korban jiwa yang menimpa para pendaki.

ALFY: Music

Kepada lirik-lirik indah yang menenangkan jiwanya.
.

Aku gugup memulai surat ini. Entahlah. Semuanya begitu cepat. Aku bertemu dengannya, mengenalnya, mencoba akrab dengannya, dan saat ini membiasakan semua berjalan seperti awalnya. Menyebalkan.

Aku sungguh iri padamu. Kau diciptakan oleh jiwa-jiwa yang bahagia. Atau kau adalah bagian jiwa-jiwa yang sedih. Atau mungkin kau sudah ada sejak dulu di angan-angan dunia dan baru-baru ini kau muncul dengan segala ketenanganmu. Membahagiakan yang sedih. Mengingatkan yang senang. Memporak-porandakan yang damai. Membangun apa-apa yang berserakan. Ah, kau tentu tak boleh sombong akan itu semua.

Di balik malamku yang sepi, di teras-teras yang nyaman, di antara lukisan-lukisan cetakan, ada penggalan-penggalan lagumu di sana. Tahukah kau? Itu karena aku menyelipkanmu. Oh indahnya duniaku.

Sejak saat itu. Ah kapan, aku lupa. Engkau adalah bagian dari kami. Huruf-hurufmu menafsirkan dirinya. Setiap memutarmu di kedalaman ruang yang paling menyiksa, rinduku seolah menjadi rambut yang menusuk-nusuk mata. Hentakanmu melelehkan. Airmataku tumpah bersama bayangnya. Keparat kataku, di sela-sela kau bernafas.

Tapi. Harus ada tapi di cerita yang seperti ini. Tapi aku menyukaimu. Aku merindukannya karena ada dirimu. Saat aku berjalan. Saat aku mengemudi. Saat aku berenang. Saat aku menari. Saat aku teriak. Saat aku menangis. Saat aku bahagia. Saat aku menulis. Saat aku berpuisi. Ada dirimu yang mengantarkannya kembali ke anganku. Adanya dirimu menghidupkan harap dalam rinduku.

Kau lirik yang paling beruntung. Hidup sepanjang masa. Dirindukan tanpa perlu merindui. Dicintai tanpa harus mencintai. Dikagumi bukan karena mengagumi. Disanjung karena memang pantas untuk disanjung.

Terimalah kasihku untuk keberadaanmu. Adanya dirinya yang memberi arti itu tidak lain adanya dirimu yang mengartikannya.

.

Dari yang menyanyikanmu untuk sebuah kerinduan yang dalam.

Kuhidupkan Dirimu

Pertama, tidak ada sedikitpun keinginan untuk melupakanmu, meniadakan keberadaanmu serta menghapus semua kenangan tentangmu. Sungguh itu bukanlah sesuatu yang aku suka. Aku lebih memilih untuk membiarkanmu tinggal di hatiku selama waktu yang kau inginkan untuk tinggal. Sesukamu aku mengizinkannya.
Sungai itu, yang menjadi candu dalam dada dan angan adalah memori hidup yang setiap saat menggangguku. Aliran airnya menghanyutkan ragaku untuk berlabuh di bayang-bayangmu. Putih riamnya telah mengantarkanku ke dunia mimpi yang hanya ada kamu di setiap sudutnya.

Kapal itu, memuat segala apa yang menjadi indah dalam balutan keanggunanmu. Membawaku melintasi samudra kerinduan akan tawamu. Segala yang datang darimu seakan memabukkanku. Menjadikanku linglung tak berdaya melawan arus kerasnya dunia percintaan.

Kedua, aksara yang mengabarkanmu telah sirna dari lembar-lembar karanganku. Tinta-tinta mengering lebih dulu jika ada namamu di awal puisiku. Hampir setiap baitnya berisikan kerinduan dan kepiluan. Kata demi kata lenyap dari barisnya mengiringi bayangmu yang semakin memudar bersama waktu.

Saban aku merapal mantra penawar rindu yang kudapat dari pujangga manapun, maka tubuh ini akan seketika roboh memeluk bumi. Terasa sakit yang sangat saat aku mulai menghapus satu demi satu huruf yang merangkai indah namamu. Bedebah kataku memaki diriku sendiri. Diri macam apa aku ini yang berani merindukan sebuah nama yang hanya terdiri dari huruf-huruf menjengkelkan tak bermakna itu. Betapa sulitnya aku menenggelamkan diriku dalam semua ini. Bukankah aku sudah bukan anak ingusan yang bosan dipermainkan keadaan. Maka aku saat itu dan saat ini akan kalah olehmu. Kalah dalam hal yang sebenar-benarnya.

Ketiga, saat aku mulai mengakui kekalahanku dalam segala hal maka aku ingin memilikimu dalam satu hal saja. Satu hal yang hanya aku dan Tuhan yang tahu. Aku menyerah menjadikanmu susuatu yang tak mungkin aku gapai di nyata dan mimpiku. Aku tak mau berjuang untuk kesia-siaan. Aku tak akan menyengsarakan diriku melangkah lebih jauh menyusuri jalan-jalan ketidakpastian. Tetapi aku sepenuhnya tak mundur. Aku akan mencari jalan memutar untuk menuju tempat yang sama. Tempat yang ada kamu di sana. Meski bukan untukku, setidaknya aku tidak sepenuhnya membuang sebagian kecil angan dan mimpiku.

Setiap hari, saat senja menampakkan keindahannya di kaki langit barat, aku selalu teringat apa yang menjadi keberadaanmu di bumi. Kau menampakkan seluruh aura positifmu untuk menerangi hari yang semakin gelap. Percayakah kamu jika aku saat itu mabuk dan mencoba mencari pegangan untuk bisa tetap berdiri.

Di tempat yang aku pijak saat ini akan menjadi saksi bahwa aku pernah berdoa untuk keselematanmu dan kehidupanmu. Bahwa aku pernah menjadi gila karna satu nama yang sangat sangat menggelisahkan. Kau akan tahu suatu hari nanti karna waktu yang akan menceritakannya.

Terakhir, aku telah jauh melangkah menyusuri jalan kerinduan yang tak berujung dan tak berpangkal. Langkah demi langkah telah ditempuh bersama samar-samar bayangmu. Maka, meski aku telah kalah dalam memanjakan diriku, aku tetap tidak akan menyesal. Aku tidak akan menyesal untuk yang ke sekian kali. Aku tidak akan pernah menyesal tentang apapun.

Dalam diriku yang paling dalam. Lebih dalam ketimbang hati sanubari. Aku sangat ingin menghidupkanmu dalam cerita baru yang sedikit banyak aku bisa mengingat apa-apa tentangmu. Kisah-kisah dengan aksara-aksara yang baru. Dengan huruf-huruf yang baru. Dengan tanda baca yang baru. Dengan kata-kata yang baru. Aku sangat ingin kau ada dalam bagian ceritaku yang lain. Cerita yang datang dari pinggiran kehidupan yang kamu pun tak ingin mengingat namanya.

Book Review: Kumcer – Sungai, Suara dan Luka | Cerpen yang Lebih Tua dari Yang Baca

 

Seminggu ini aku luangkan waktu untuk membaca buku kumcer (kumpulan cerpen) karangan S. N. Ratmana. Saat pertama kali aku menemukannya di salah satu rak perpustakaan Grhatama Pustaka Yogyakarta aku tak langsung suka dengan buku ini. Aku selalu nyawang sampul bukunya pertama kali, kalau intuisiku mengatakan ‘ini bagus‘ maka pada akhirnya akan bagus. Tapi yang kudapatkan dari sampul buku ini adalah begitu absurd dan hanya menarik dari judul bukunya.

Berbicara tentang kumcer ini maka siapapun pembacanya akan dibawa jalan-jalan ke 40 sampai 50 tahun Indonesia zaman dahulu. Kumcer ini kumcer lawas. Lawas sekali. Lembaran-lembarannya saja sudah menguning layaknya kitab-kitab kuno yang tersimpan di museum-museum. Membukanya harus pelan-pelan tanpa perlu grusa-grusu yang bisa membuat bukunya rusak dan robek.


Membaca beberapa cerpen dari Ratmana aku membayangkan beberapa kejadian sehari-hari yang terjadi di zaman Indonesia modern saat ini. Dan dengan manggut-manggut aku punya opini yang berdasar pada perkataan-perkataan orang besar lainnya bahwa ‘sejarah pasti berulang’. Tidak setahun dua tahun, beberapa puluh tahun pun zaman akan menampakkan kesamaannya yang pernah terjadi akan terjadi lagi.

Cerpen berjudul ‘Kubur‘ misalnya. Cerpen ini lahir tahun 1962 yang mengisahkan perselisihan sebuah keluarga yang mempermasalahkan mendirikan bangunan di pemakaman meski untuk niat penghormatan. Adalah seorang ibu yang dimakamkan di pekuburan itu. Anak laki-lakinya yang merasa kurang begitu berbakti kepada ibunya berniat membangun sebuah bangunan yang bagus untuk kuburan ibunya. Tapi malah pertentangan yang didapatkannya dari ayahnya -suami ibunya,  sendiri dan adik kandungnya. Ayahnya beralasan bahwa itu semua perbuatan yang bisa merubah tauhid dan ditentang oleh agama Islam yang dipercayanya. Perpecahan keluarga ini semakin parah ketika bangunan untuk penghormatan makam si ibu sudah berdiri tapi adiknya dengan keras kepala membongkarnya dan membiarkan utuh seperti sedia kala.

Atau cerpen yang berjudul ‘Sang Profesor‘ tahun 1974 dalam urutan ke sekian dalam kumcer milik Ratmana ini. Zaman dahulu gelar profesor sangatlah disegani dan dihargai. Banyak orang yang memujanya dan membesar-besarkannya. Sang profesor layaknya guru dari semua guru yang ada.

Saat suatu hari sang profesor harus menemui ajalnya banyak sekali orang-orang dari berbagai kalangan untuk memberikan penghormatan baginya. Banyak sekali orang-orang asing yang datang di acara pemakaman itu. Tokoh ‘aku’ dalam cerita ini yang juga dulunya sebagai asisten sang profesor sangat kaget dengan yang dilihatnya. Begitu banyaknya manusia yang datang dan dirinya sendiri tak mengenal satupun dari mereka.

Tokoh ‘aku’ bercerita bahwa sang profesor yang dikenal masyarakat bukanlah sang profesor yang seharusnya diidam-idamkan oleh mereka. Nampak luarnya saja yang mereka lihat begitu mengagumkan. Tetapi suatu kejadian yang telah dialami tokoh ‘aku’ sangatlah menjijikkan untuk dialami dengan  seorang profesor. Aku sendiri mengartikan tokoh ‘aku’ sebagai seorang pemuda yang sedang berada di masa pubertas. Masa di mana tokoh ‘aku’ ini masih mengabdi pada sang profesor untuk menjadi seorang asisten.

Pada malam yang sepi di sebuah rumah pemondokan jauh di perkampungan kejadian itu hampir saja menimpa tokoh ‘aku’. Sang profesor didapati hampir menggumulinya di sebuah dipan reot tempatnya tidur. Untung saja tokoh ‘aku’ ini sigap dan mempelintir tangan sang profesor hingga memar. Dan malam itu adalah malam di mana tokoh ‘aku’ sudah berhenti mengagumi sang profesor seperti masyarakat mengaguminya. Perasaan jijik telah merambat subur di hatinya.

Atau lagi, cerpen yang berjudul ‘Tojo‘ tahun 1977. Tojo merupakan nama dari prajurit Jepang yang kemudian berubah menjadi Muhammad Tajuddin setelah menjadi muslim dan menikahi anak dari salah satu penduduk desa. Tapi kejadian naas menimpanya setelah kesatuan tentara Jepang menembaki pemuda-pemuda kampung tempatnya tinggal.

Warga kampung lainnya melampiaskan balas dendamnya kepada si Tojo yang masih berstatus prajurit Jepang kala itu. Ia diseret ramai-ramai dan dipukuli di jalanan. Akhirnya ia meninggal dan jasadnya di buang di sungai. Masyarakat sudah lupa bahwa yang barusan dibunuh beramai-ramai bukanlah si Tojo melainkan si Muhammad Tajuddin yang sudah beriman seperti imannya orang-orang kampung.

Atau pembaca akan disuguhkan cerpen yang berjudul ‘Diagnosa‘. Cerpen ini mengangkat cerita tentang seorang dokter yang berkawan dengan seorang guru. Bagaimana si Guru berpesan kepada kawannya yang berprofesi dokter untuk mengawasi pasien-pasiennya yang ditakutkan murid si Guru tersebut.

Tidak zaman sekarang, zaman dahulu pun pengawasan orang tua ataupun guru sangat-sangat dibutuhkan. Nyatanya salah seorang murid putri dari guru tersebut diketahui memperiksakan kandungannya dengan menggunakan nama samaran. Dengan tenangnya murid tersebut mengaku sebagai kakaknya yang merupakan istri dari seseorang. Seolah tak ada masalah yang serius. Penyamaran ini dimaksudkan agar biaya periksa kandungan mendapatkan biaya ganti dari perusahaan suami kakaknya bekerja. 

Apa yang ditakutkan oleh si Guru akhirnya terungkap saat pacar dari murid yang hamil itu diinterogasi oleh si dokter saat ujian penerimaan tentara baru Republik ini. Berkaca pada cerpen tersebut, di zaman modern saat ini kita seolah merasa wajar mendengar berita seperti itu. Masyarakat sudah mafhum dengan kenakalan-kenakalan yang dilakukan oleh pelajar saat ini. Padahal hal seperti itu sangat sangatlah perlu untuk diawasi dan ditindak.

Tapi begitulah zaman, dahulu dan sekarang seolah terdapat benang merah yang mengikat satu sama lain dan tak pernah bisa terpisahkan. Terhubung untuk menerjemahkan zaman yang lain. Menjadi sebuah cerita yang bisa digunakan sebagai tolak ukur sekaligus pelajaran atau hanya sebatas kisah yang hanya bisa diceritakan.

Membaca kumcer milik Ratmana menjadi hal baru bagi saya. Dengan gaya bahasanya yang mudah dicerna, alur cerita yang ringan serta masalah-masalah yang diangkat juga sering ditemui di kehidupan sehari-hari. Kumcer ini menjadi menarik saat dibaca setelah 40 sampai 50 tahun dibuat. Saya malah belum lahir. Belum ditiupkan ke rahim ibu ding. Kalau dihitung-hitung cerpen-cerpen ini berumur sama dengan orang tua saya. Sudah lumayan tua.

September 2017

Crpn: Di Atas Pasir

Oleh: Kahlil Gibran

​Berkatalah seorang lelaki kepada temannya, “pada saat air laut sedang pasang yang lama, dengan tongkatku aku menulis sebuah baris di atas pasir, dan orang-orang diam sejenak untuk membacanya, dan mereka berhati-hati agar tidak menghapusnya.”

Dan teman laki-laki itu berkata, “ dan saya juga menulis sebuah baris di atas pasir, tetapi saat itu air laut sedang surut, dan ombak laut yang luas menyiramnya. Tetapi katakan padaku, apa yang kamu tulis?

Laki-laki itu menjawab, “saya menulis ini: ‘Aku adalah siapa dia’, tapi apa yang kamu tulis”

Dan temannya menjawab, “saya menulis: ‘Saya hanyalah setetes dari lautan yang luas ini’.”
©kangsole

Tentang semua yang terlintas dan kenangan