Arsip Kategori: Sajak Kata

Satu Tempat untuk Merindu

Gambar-Bunga-Teratai-Yang-Kuncup

Sebut satu tempat yang membuatmu rindu.

Rindu apa saja.

Boleh tawanya, senyumnya, judesnya, atau bahkan marahnya.

Tempat yang jika diucapkan membuatmu melayang. Menerawang kenangan-kenangan masa lalu.

Membuatmu mengerti bahwa kamu pernah dimabuk asmara oleh manisnya sebuah percakapan.

Percakapan ringan dan bahkan sepele sekaligus tak penting.

Satu tempat apabila disebutkan kau seolah-olah bagian darinya.

Bagian dari kotamu.

Kota yang lain di hatimu.

Pernahkah kau merindu hanya pada sebuah kata tempat. Sama sekali tidak ingin mengunjunginya lagi. Atau ingin mengunjunginya lagi. Tidak masuk dalam daftar tujuanmu mengelana. Hanya sebatas rindu. Rindu yang dalam.

Karena di tempat itu ada satu nama yang entah kenapa Tuhan selalu membuat jiwa bergetar. Hati menggigil. Pikiran terhenti sejenak. Dan seketika lidah menjadi kelu.

Satu nama yang pernah megah di hatimu. Satu nama yang pernah menyirami malam-malam sunyimu. Satu nama yang pernah mengisi slot kosong dalam doa sujudmu. Satu nama yang jika kau bangun dari tidurmu kau tersenyum. Ohhh jangan kau gila hanya gara-gara satu nama. Sadarlah kawan.

Jika kau pernah. Pernah. Pernah mengalaminya. Maka kau telah menikmati salah satu keajaiban Tuhan dalam hati. Jaga tempat itu dalam doa dan hatimu.

Iklan

Atau Mungkin Senyumnya yang Membuatmu Bergetar

Seratus kata manis, yang mungkin bisa membuatmu tersenyum sedemikian rupa, yang membuatmu tertawa terbahak dengan segala kelelahan rahang-rahangmu, yang akan membuatmu melayang ke angkasa bersama bulan dan bintang dan langit biru. Atau seribu puja-puji menawan yang menghangatkan hatimu, yang membuat jiwamu menjadi lebih teduh, yang membuat matamu berkaca-kaca hingga pandanganmu mengabur, yang akan membuat hari-harimu berbunga dengan wewangian yang harum layaknya bunga-bunga kenanga dan melati.

autumn-2789234_960_720

Atau sesosok wajah yang anggun, yang menari dalam pelupuk mata dan hatimu, yang berjingkat-jingkat memasuki ruang dada dan kepalamu, yang berlari ke sana ke sini memenuhi fikir dan anganmu. Atau mungkin puisi-puisi dan surat cinta, yang akan mengoyak kedamaian jiwamu, yang membuatmu gelisah, yang apabila kamu makan dan minum tak terasa lagi nikmatnya, yang apabila kamu mencoba memejamkan mata hanya bayang dan senyum yang terlintas, yang apabila kamu membacanya satu demi satu kata yang tertulis serasa melayang, kamu terlalu berlebihan.

Atau mungkin sapaan halus yang keluar dari bibirnya, yang bisa membuatmu hitam-putih memeluk diri sendiri, yang membuatmu menjadi lebih bersemangat, yang membuat hatimu berbunga-bunga, yang membuat wajahmu memerah, yang membuat tangan dan kakimu lemas tak berdaya.

Atau saat dia tertawa, dengan senyum manisnya, dan keindahan matanya, yang membuatmu hafal nama-nama surga, yang membuatmu terkapar dalam mimpi-mimpi yang nyata, yang akan menuntunmu melewati hamparan bunga-bunga mawar di pekarangan rumahnya.

Atau saat jalan-jalan basah, daun-daun kering berguguran, bunga-bunga mekar berbalut embun, rumput-rumput mulai semi, burung-burung berkicau dengan merdunya, awan-awan mulai menghias langit, atau saat Tuhan mulai melukis langit menjadi lebih biru dari sebelumnya, dan kamu mengamatinya dengan seksama, kamu mengetahuinya, kamu menjadi saksi itu semua.

Atau saat genangan-genangan itu mulai memperlihatkan bayang-bayang dunia, ada kamu dan dia berselimut gerimis, meratapi keindahan masing-masing, meringkuk dalam diam, mengingat masa lalu, menerjemahkan kenangan, menafsirkan mimpi-mimpi, dan mulai merangkai rindu kembali.

Atau semua tentang kebahagiaan di dunia, yang membuatmu terdiam, terpejam, dan terkenang. Atau tentang kebahagiaan dalam dadamu, yang membuatmu rindu, semakin dalam semakin candu, dan mulai berontak untuk sekedar bertemu. Atau tentang kebahagiaan satu sama lain, ceritamu hanya berkutat tentangnya, dan ceritanya baru akan mulai menuliskan kisah tentangmu.

Pada akhirnya, dirimu bukan lagi milikmu, dan dirinya bukan lagi tak ada yang punya.

 

#OktoberBahagia

Kuhidupkan Dirimu

Pertama, tidak ada sedikitpun keinginan untuk melupakanmu, meniadakan keberadaanmu serta menghapus semua kenangan tentangmu. Sungguh itu bukanlah sesuatu yang aku suka. Aku lebih memilih untuk membiarkanmu tinggal di hatiku selama waktu yang kau inginkan untuk tinggal. Sesukamu aku mengizinkannya.
Sungai itu, yang menjadi candu dalam dada dan angan adalah memori hidup yang setiap saat menggangguku. Aliran airnya menghanyutkan ragaku untuk berlabuh di bayang-bayangmu. Putih riamnya telah mengantarkanku ke dunia mimpi yang hanya ada kamu di setiap sudutnya.

Kapal itu, memuat segala apa yang menjadi indah dalam balutan keanggunanmu. Membawaku melintasi samudra kerinduan akan tawamu. Segala yang datang darimu seakan memabukkanku. Menjadikanku linglung tak berdaya melawan arus kerasnya dunia percintaan.

Kedua, aksara yang mengabarkanmu telah sirna dari lembar-lembar karanganku. Tinta-tinta mengering lebih dulu jika ada namamu di awal puisiku. Hampir setiap baitnya berisikan kerinduan dan kepiluan. Kata demi kata lenyap dari barisnya mengiringi bayangmu yang semakin memudar bersama waktu.

Saban aku merapal mantra penawar rindu yang kudapat dari pujangga manapun, maka tubuh ini akan seketika roboh memeluk bumi. Terasa sakit yang sangat saat aku mulai menghapus satu demi satu huruf yang merangkai indah namamu. Bedebah kataku memaki diriku sendiri. Diri macam apa aku ini yang berani merindukan sebuah nama yang hanya terdiri dari huruf-huruf menjengkelkan tak bermakna itu. Betapa sulitnya aku menenggelamkan diriku dalam semua ini. Bukankah aku sudah bukan anak ingusan yang bosan dipermainkan keadaan. Maka aku saat itu dan saat ini akan kalah olehmu. Kalah dalam hal yang sebenar-benarnya.

Ketiga, saat aku mulai mengakui kekalahanku dalam segala hal maka aku ingin memilikimu dalam satu hal saja. Satu hal yang hanya aku dan Tuhan yang tahu. Aku menyerah menjadikanmu susuatu yang tak mungkin aku gapai di nyata dan mimpiku. Aku tak mau berjuang untuk kesia-siaan. Aku tak akan menyengsarakan diriku melangkah lebih jauh menyusuri jalan-jalan ketidakpastian. Tetapi aku sepenuhnya tak mundur. Aku akan mencari jalan memutar untuk menuju tempat yang sama. Tempat yang ada kamu di sana. Meski bukan untukku, setidaknya aku tidak sepenuhnya membuang sebagian kecil angan dan mimpiku.

Setiap hari, saat senja menampakkan keindahannya di kaki langit barat, aku selalu teringat apa yang menjadi keberadaanmu di bumi. Kau menampakkan seluruh aura positifmu untuk menerangi hari yang semakin gelap. Percayakah kamu jika aku saat itu mabuk dan mencoba mencari pegangan untuk bisa tetap berdiri.

Di tempat yang aku pijak saat ini akan menjadi saksi bahwa aku pernah berdoa untuk keselematanmu dan kehidupanmu. Bahwa aku pernah menjadi gila karna satu nama yang sangat sangat menggelisahkan. Kau akan tahu suatu hari nanti karna waktu yang akan menceritakannya.

Terakhir, aku telah jauh melangkah menyusuri jalan kerinduan yang tak berujung dan tak berpangkal. Langkah demi langkah telah ditempuh bersama samar-samar bayangmu. Maka, meski aku telah kalah dalam memanjakan diriku, aku tetap tidak akan menyesal. Aku tidak akan menyesal untuk yang ke sekian kali. Aku tidak akan pernah menyesal tentang apapun.

Dalam diriku yang paling dalam. Lebih dalam ketimbang hati sanubari. Aku sangat ingin menghidupkanmu dalam cerita baru yang sedikit banyak aku bisa mengingat apa-apa tentangmu. Kisah-kisah dengan aksara-aksara yang baru. Dengan huruf-huruf yang baru. Dengan tanda baca yang baru. Dengan kata-kata yang baru. Aku sangat ingin kau ada dalam bagian ceritaku yang lain. Cerita yang datang dari pinggiran kehidupan yang kamu pun tak ingin mengingat namanya.

Ada Dirimu dalam Setangkai Mawar


Pagi yang ceria ku petik Mawar di taman. Mawar yang harumnya menenangkan hati dan menentramkan jiwa. Telah lama aku menunggu mekarnya. Di hari-hari yang lalu telah kupupuk ia dengan kesetiaan dan ketulusan. Kurawat sepenuh hati dengan segala harap kupunya.

Semerah bibirmu dikala melantunkan bait indah puisi, Mawar itu memabukkan setiap mata yang memandang. Seharum bau tubuhmu saat menari di gelap gulita bayangku, aku abadikan ia dalam sudut hatiku yang paling rahasia.

Dengannya.

Aku menari di antara pantai dan karang. Aku limbung bersama angin bukit dan lembah. Aku merasa terbang bersama awan dan burung-burung. Gairahku tergerak hebat oleh alunan shimpony kehidupan. Melodinya membawaku ke hamparan harapan yang indah penuh keajaiban.

Aku percaya. Bumi yang dingin nan sunyi telah melahirkan setangkai keindahan ragawi. Kesunyian telah memeluknya begitu erat. Surga telah menyiraminya dengan tetesan-tetesan embun yang suci.

Setangkai kehidupan itu bermakna. Mempunyai tafsirannya sendiri. Jelmaan dari bidadari yang menghuni ketenangan batin. Gambaran dari luasnya warna dan dalamnya wewangian.

Tak ada salahnya aku memetiknya dalam kerinduan. Seperti halnya Tuhan yang telah memetik Layla dan Majnun untuk kerinduan-Nya melihat mereka berdua bersulang. Tak ada alasan pasti untuk membayar sebuah kerinduan itu. Sama halnya diriku yang merindumu dalam waktu dan hanya bisa sebatas memetik setangkai Mawar untuk bisa mengenangmu seutuhnya.

Detik demi detik yang tak bisa diulang, maka Mawar tetaplah Mawar. Yang mulanya merah perlahan serupa malam yang sepi yang menyedihkan. Yang mulanya harum mewangi, perlahan memudar bersama angan-angan yang tergerus logika.

Dan pada akhirnya Mawar tinggallah Mawar yang menyisakan tangkai tak berdosa. Bersama alunan kepiluan dan sedihnya kerinduan, ku peluk ia dalam diam tanpa ada tetesan air mata di sela kesunyian.

Harum masih tersisa dalam kalbuku hingga detik-detik akhir layunya. Puja-puji surga telah kugubah untuk menghormati keanggunannya sebelum ia jatuh tersungkur memeluk sunyi. Rasa syukur telah kuucap ribuan kali dalam debar yang gelisah atas gelap yang menelannya. Aku merana dalam diam, hina dalam kenangan, dan menangis dalam pelukan angan.

Dan biarlah berlalu apa yang memang menjadi masa lalu. Dan lupakan apa yang telah menjadi kenangan menyedihkan.

Desemberku

Kabar darimu telah kutunggu sejak hari-hari yang lalu. Di persimpangan, di tepi sungai, dan di dermaga-dermaga telah kutunggu perihal harum namamu.

Tasbih yang melingkar di leherku, sajadah yang terhampar di lantai-lantai pertapaanku, dan butiran airmata yang menguap memenuhi ruang pengasinganku, adalah memori-memori abadi yang tak bernafas. Yang menjadi teman sejati dalam merengkuh doa-doa samawi. Saksi abadi bahwa aku adalah pecinta sekaligus perindu yang pernah memuja dan menari bersama harimu.

Desember, perlu engkau tahu, jari-jari tanganku pernah bergetar hebat. Jantungku ini pernah berdetak lebih cepat dari detik arlojiku. Debar hatiku pernah menjadikanku manusia setengah limbung. Tubuhku yang kurus ini pernah terkapar dalam dekapan hari-harimu. Perlu engkau tahu, surga pernah berada di dadaku ketika engkau menyapa, tersenyum, bertukar kata dengan jiwaku yang lemah ini.

Janji-janji indah para penenun malam yang kesepian pernah terukir dalam bingkai indah pesonamu. Menjadikanmu pujaan sekaligus kekasih yang dapat menawar segala rindu yang mendera. Menjadikanmu tempat dan waktu terindah untuk bersua di taman-taman mawar nan harum.

Akulah penikmatmu, Desember. Bersama dengan fajar yang keunguan, bersama dengan burung-burung Gereja, bersama daun-daun yang bersemi, aku setiap pagi menari. Bersulang dengan syair-syair cinta. Berbagi cawan yang berisikan anggur-anggur termanis. Bersenandung nada-nada para pujangga. Kami berbahagia di kedalaman jiwa dan hati kami.

Bila harimu diantar oleh tetesan-tetesan gerimis. Diiringi oleh simphoni alam. Maka kan kusambut harimu dengan sajak dan puisi dari Tuhan. Dengan secangkir semesta yang beraromakan wewangian surga. Dengan sisa-sisa rindu semalam yang masih memenuhi ruang kalbuku yang tak berdinding dan berpintu.

Kusampaikan ini untukmu yang lebih sejati dari diriku. Bersama kata yang terjalin indah dari lembah dan bukit hati seorang pecinta. Aku tak lebih dari seorang perindu. Seorang penyair yang kehabisan kata karena apimu telah membakar urat-urat lidahku.

Tetaplah bersua dengan ruhku. Berjanjilah menyimpan semua kenangan yang pernah menjadikanku seorang linglung yang mabuk asmara. Teruslah mempesona.

Adalah aku yang tak pernah kecewa bersanding denganmu. Yang menjadikanmu paling istimewa diantara kerabatmu.

Adalah aku yang pernah melayang di pangkuanmu. Yang didekapanmu kulantunkan bait-bait indah dari penyair terbaik. Kubisikkan doa-doa yang menghujani langit.

Sungguh. Aku bahagia pernah berbagi cerita di keping harimu.
Yogyakarta, 12 Desember 2016

Pagi yang Gerimis yang Pahit

Kamis pagi yang menenangkan. Dengan bertemankan kopi panas aku menikmatinya. Saat sejenak jalan-jalan ke luar, gerimis tipis menari-nari di depan mata. Bertebaran kabut tipis yang menyejukkan wajah saat angin lembut berhembus.

Ada waktu yang sama seperti sekarang ini. Saat aku hanya bisa memandang wajahmu dari balik kaca jendela. Merabanya dengan imajinasiku. Saat itu pula gerimis menemaniku menikmati pagi. Suasana yang apabila tak aku tuliskan sekarang ini, mungkin akan aku lupakan sebulan atau setahun mendatang.

Sebenarnya tak bisa aku gambarkan dengan jelas perasaan apa yang melingkuppiku. Seperti kebanyakan orang, tak ada benarnya jika aku sepihak membenarkan diri. Menghalalkan tindakanku, tapi apakah salah jika aku hanya sebatas mengagumi?

Seruputan pertama, ada aroma dimana aku teringat senyummu. Saat merasakannya di antara lidah dan liurku seakan aku berada di hadapanmu dan berbincang denganmu. Aduuh, semua ini menyebalkan. Ingin rasanya aku bisa menikmati teh hangat atau teh tawar saja. Yang tak ada satupun hal yang bisa merusak pagiku. Padahal setiap kopi tak luput dari rasa pahit dan hitam. Tak bisa menyembunyikannya. Tapi tetap saja bagi lidahku, ada sesuatu yang tak beres ketika menyeruputnya. Seperti ada manis-manisnya dan seperti ada yang memberontak di dalam sana. Entahlah, itu hanya sebatas imajinasi yang menjengkelkan.

Kopi tetaplah kopi. Pagi tetaplah pagi. Gerimis tetaplah gerimis. Aku tetaplah aku yang menikmatinya. tapi tak setiap hari bisa aku nikmati. Inilah asyiknya menunggu bagiku. Ada hari yang pasti ada paginya. Tapi belum tentu setiap pagi ada gerimisnya. Kadang gerimis, kadang pula hujan menderu. Selebihnya cerah berawan. Tak setiap pagi pula aku bertemankan kopi. Kadang susu. Kadang air tawar. Kadang puasa. Kadang tidur pulas menyelam mimpi yang indah. Maka, pagi ini, yang damai, yang gerimis, aku menyeduh kopi untuk bersua kembali dengan diriku yang menyenangkan. Ah, menyenangkan sekali bisa menikmatinya.

Sungguh, ini bukanlah hal yang sepenuhnya baik. Seharusnya pagi yang setiap hari datang dipersiapkan dengan baik dan matang. Menyongsong hari yang indah. Merancang masa depan. Dan tidak melulu berkhayal di pagi hari dan mengganggu aktivitas.

Tapi yang perlu diketahui dan menjadi dasar adalah menikmati pagi, menikati cuaca, dan kadang bolehlah menikmati kopi. Kalau punya, bolehlah pula menikmati saat menyenangkan dalam menyeruput kopi dalam secangkir masa lalu.

Bagiku langit tetaplah indah untuk diceritakan

Langit waktu siang ataupun malam tetaplah sama. Memberi kesejukan dan kenyamanan. Ada awan-awan yang damai ketika kau ingin melihatnya di waktu siang. Ada jutaan bintang yang menari ketika kau rindu pada malam hari. Bahkan purnama akan melengkapi kebahagiaanmu sebelum kau bertemu dengan mimpimu.

sky-62732_960_720

Ketika kau menyuruhku menceritakan langit, maka aku akan duduk di sampingmu. Kita akan berada di teras menghabiskan waktu bersama. Entah kau maunya siang ataupun malam. Bagiku langit tetaplah indah untuk diceritakan. Tentu kau akan merasakan senang bukan?

Tatkala matahari mulai berkawan dengan embun-embun pagi, fajar tak ubahnya setangkai bunga mawar yang merekah bagi langit yang dingin. Sinarnya boleh kau lukiskan sebagai nyala api yang temaram.

Perlahan-lahan mendaki langit, menciptakan suasana tenang penuh kerinduan. Jika kau mau, kau boleh berdiri menantang sang fajar. Kau boleh hirup nafas sedalam-dalamnya untuk merasakan kemegahan ciptaan Tuhan yang terselip dalam terbitnya matahari.

Seperti anak-anak yang riang ketika mendapatkan berkah, burung-burung kecil itu mengudara menyambut hari. Terbang kesana-kemari untuk menyanyikan lagu-lagu alam. Tentu kau bisa mendengar nyanyiannya. Tak terlalu keras, tapi itu cukup akan membuatmu tersenyum.

Menjelang siang, suasana akan menghangat. Menjalari pohon-pohon dan atap-atap. Angin berhembus untuk menandakan bahwa dingin telah lenyap dan telah tergantikan oleh kehangatan.

Aku akan mengikutimu duduk lagi. Dan kita masih menikmati langit. Seperti paginya orang yang romantis, selalu ada kopi di meja untuk sekedar teman menerjemahkan langit.

Langit selalu mempunyai ketenangan tersendiri. Ia berdiri sendiri sebagai pelengkap jagat untuk mempertebal keimanan. Semacam-macam apapun perbuatan di bawahnya, langit tetaplah langit, yang hanya bisa melihat tanpa pernah menegur.

Langit menyimpan berjuta-juta rahasia. Berjuta-juta keinginan. Berjuta-juta impian. Termasuk impianku kala dulu ketika aku sangat-sangat ingin menemuimu, tetapi yang keluar hanyalah barisan doa yang kutitipkan pada langit untuk Tuhan.

Langit selalu menerima. Langit tak pernah menolak. Apa kau pernah tahu, langit menolak impian hanya gara-gara tidak sesuai dengan si pengimpi? Apa kau pernah dengar, langit menolak doa hanya karena baitnya terlalu buruk? Langit tak sekejam itu. Langit adalah hamba yang penurut dan penerima.

Saat siang menjelang, langit terlihat indah dengan warna biru yang membentang. Seperti lautan, warna biru yang menenangkan sekaligus menyenangkan. Di sudut-sudutnya beriringan awan-awan putih yang sedang menjelajah. Kadang tipis-tipis, kadang juga tebal bergelembung, saling bertumpuk.

Jika seumpama kau sabar menatap langit kau akan menemukan lebih banyak keindahan. Kau akan menemukan burung-burung yang sangat kecil, yang sedang berkejaran menodai birunya langit. Saking kecilnya, mungkin kau akan menganggapnya bintang yang hitam. Padahal itu nyata, dua burung yang saling kasmaran, berkejaran menikmati angin yang sedang berhembus.

Kau akan menemukan bentuk-bentuk awan yang lucu, unik, mengagumkan, bahkan menjengkelkan. Di siang yang terik, kadang-kadang langit menyajikan awan-awan seperti kumpulan kelinci yang bebas di padang rumput. Jika kau pernah melihat domba, maka kau tak akan sebegitu kaget jika pandangamu melihat domba-domba itu sedang merumput di hamparan birunya kedamaian.

Setelah hari mulai menunjukkan titik tengahnya, maka saat-saat seperti ini lebih baik kau dan aku istirahat sejenak. Masuk ke dalam rumah dan kita akan membicarakan apa saja termasuk hewan-hewan yang kita temui pagi tadi. Kita akan membahas hal yang mungkin lucu dan juga malah tidak perlu. Yang pasti kita menghabiskan waktu untuk menunggu langit bersahabat kembali untuk dinikmati.

Masuk di sepertiga siang terakhir,yang sungguh banyak dalil yang mengatakan bahwa waktu-waktu seperti ini langit akan bermetamorfosis menjadi lebih indah dari jam-jam sebelumnya, maka aku akan mengajakmu pergi sebentar dari rumah.

Mencari suasana yang kondusif dengan hatimu yang antusias. Aku akan mengajakmu di suatu tebing yang tinggi dan langsung menghadap ke arah barat. Kita berada di atasnya dan menggelar beberapa alas sebagai tempat duduk supaya kotornya tanah tak mengganggu kesenanganmu.

Langit akan menunjukkan keanggunannya. Langit akan mengeluarkan suara-suara surgawi lewat cahaya-cahayanya. Langit akan mengabarkan padamu bahwa sebentar lagi merupakan detik-detik perpisahan antara siang dan malam.

Langit menguning bak ladang gandum yang siap di panen. Sesekali, kalau beruntung kau akan menemukan beberapa Camar terbang menuju matahari tenggelam. Menari riang. Menikmati keindahan.

Kalau aku bisa melukis, pastilah akan aku abadikan momen indah ini dalam bentuk dua dimensi yang menjadi pengantar tidurmu ketika kau memasangnya di dinding kamarmu. Sayangnya aku bukanlah orang yang pandai dalam menggoreskan cat. Sayangnya aku tak dibekali bakat melukis. Lukiskanku hanya sebentuk kata-kata yang bisa kau gambarkan sendiri dalam langit-langit malammu.

Sudahkah kau merasa tenang? Apa kau kini merasa senang?

Bagimu warna langit mungkin sama. Tanpa keindahan yang berarti. Sekalipun senja, itu tak akan membuatmu terkagum. Tapi, di sini, aku yang mengagumimu, akan berusaha agar kau mau dan mampu mengagumi senja. Duduk, hanya duduk untuk melepas lelah dan menghapuskan gundah. Perlahan aku yakin, kau akan mengerti.

Menjelang malam, Tuhan akan sibuk menata bintang-bintang dan mulai menyiapkan bulan. Tuhan akan berfirman, ‘temanilah mereka, jadilah indah, jadilah pelangi di malam-malam yang sepi’. Tuhan menyiapkan keindahan untuk kita nikmati. Tuhan Mahakasih. Maka, dukunglah aku menyangimu dalam bentuk kasih.

Bintang itu bernama Salsabila, kataku padamu. Entah benar atau tidak bagiku bintang itu tetap bernama Salsabila. Aku tak tahu kau tersenyum atau tidak. Mungkin jika kau berkenan tersenyum, pastilah senyum itu senyum mengejek. Mana ada bintang bernama Salsabila? Perkiraanku akan batinmu.

Aku ceritakan padamu bahwa keindahan langit di malam hari serupa keindahan laut di siang hari. Intinya menawan. Bintang-bintang itu membentuk sketsa-sketsa ikan. Berenang dalam diam. Dia mempunyai warna tersendiri, aku yakin. Ada juga Sketsa bunga. Bunga Mawar yang mirip Melati. Andai aku punya sayap, pastilah sudah kupetik satu tangkai untuk kuselipkan di telingamu. Agar keindahannya menurun padamu.

Apalagi kalau purnama datang. Saat menatapnya saja, kau akan dibawa ke alam yang, jika kau menari, merasa anggun, jika kau menyanyi, maka seperti putri, jika kau berjalan, angin akan berhembus di punggungmu dan membelai rambutmu yang wangi. Purnama akan menerjemahkan semua mimpimu. Purnama akan menghapus sedihmu. Purnama akan menjadi daya magis yang menenangkan batinmu.

Dan pada akhirnya langit tetaplah langit. Yang menyimpan keindahan surga. Yang tak pernah tergapai oleh mimpi tertinggi sekalipun. Tapi, dengan keberadaanku disampingmu, setinggi apapun langit, seindah apapun langit, aku akan menceritakannya dengan sederhana, tanpa berlebihan. Aku akan menceritakan padamu bahwa setinggi apapun langit, sebanyak apapun bintang, percayalah bahwa mereka ada untuk menghibur malammu yang gelap.

Bayang-bayangmu di sana

images
Sumber: cerpen.com

Aku waktu itu berada jauh dibelakangmu. Memandangmu penuh harap dengan melodi-melodi jalanan yang berisik. Kau tampak anggun dengan pesona merah mudamu. Senyum manismu seakan madu surga yang memabukkan. Aku tahu kamu sedang menunggu sesuatu. Dan itu bukan aku.

Entah kau sadar atau tidak, aku duduk manis di samping ibu-ibu yang sedang memainkan smartphone-nya. Jauh berada di belakangmu. Dari sini nampak jelas keanggunanmu dan kelincahanmu. Secara langsung aku bisa menafsirkan keramahanmu jika kau tak berlagak cuek seperti itu.

Aku bisa saja menghampirimu. Menyapamu dengan kata-kata yang sedikit bersahabat. Aku juga bisa membahas apa saja sesuai dengan keinginanmu. Meski tidak sempurna, aku yakin pemikiranku sama dengan mawar-mawar itu. Kelihatannya saja berduri, tapi jangan menyangkal bahwa itu akhirnya memang indah.

Tapi, kau tahu juga. Bahwa aku tidak akan melakukannya. Aku cukup menikmati momen itu. Aku sendiri tak mau merusaknya dengan ocehan hayalan yang bisa merusak senyummu. Biarlah kau menunggu di sana. Biarlah sepi menemani nyamanmu. Kau akan lebih fokus bermain dengan anganmu. Kau akan mendapatlkan tafsiran-tafsiran yang luar biasa.

Aku masih saja di sini melukis indah parasmu dengan memoriku. Segala yang berhubungan dengan arlojiku kan kuperlambat sedemikian rupa untuk menikmati indah pelangi samar-samar di matamu. Kali ini harum nadamu hanya samar-samar bersautan dengan kicau burung-burung jalanan.

Aku menghitung setiap kemungkinan-kemungkinan yang terjadi apabila aku tetap di sini dan jika aku menghampirimu. Tapi, tenanglah, perhitunganku tak akan merugikanku dan mengecewakanku. Aku tetap di sini menghapal lekuk indah anggunmu untuk kubawa pulang dan ksesalkan dalam referensi mimpiku. Aku sungguh bukan naïf, tapi inilah fakta perasaan yang dibatasi oleh hukum semesta.

Kau pernah lihat bintang. Atau begini, apa kau pernah mencintai purnama. Apa kau pernah berharap disaat ada bintang jatuh.

Aku tahu momen-momen itu hanya pantas dinikmati dengan mengaguminya. Dan setiap melihatnya, ada suasana magis yang membuat hati nyaman, pikiran tenang, dan tak ada satupun masalah yang yang bisa mengganggu.

Pun juga kamu. Sekali lagi, tetaplah bernafas dan menjalani hari-harimu. Biarlah semesta yang menjagamu. Biarkan angin menuntunmu terbang. Hingga kau yang ada disana tahu ada puisi-puisi yang berada disampingmu. Menggantikan bayanmu dan selalu menemanimu.

Jadi, yang terjadi kemudian, aku hanya menikmati nafasku. Setiap nafas yang kuhirup di sini, aku bersyukur masih bisa memikirkanmu di sudut pemikiran-pemikiran yang lain. Aku masih bisa menggodamu dengan pikiran dan anganku hingga waktu-waktu berlalu.

Hingga akhirnya, aku tak bisa menemukanmu lagi di sini. Meski, harum jejakmu masih terasa, tetap saja rindu ini belum sepenuhnya terpuaskan. Rindu yang sekarang masih sama dengan rindu-rindu yang lalu. Menyenangkan.

​Selamat merayakan kerinduan

Pertama, sebuah kehormatan bagiku untuk bisa menikmati kerinduan ini. Di sela-sela waktu sibukku di langkah-langkah cepatku dan di malam-malam sepiku, semua terasa lebih berwarna untuk sebuah nama yang pabila terucap akan tercipta debar yang menggema.
Sebuah rasa yang tak terdefinisi oleh kata dan ucapan. Rasa yang tersembunyi oleh keyakinan dan cita. Mengadopsi takdir Tuhan yang telah tertulis rapi di langit-langit malam para pecinta.

Kedua, bahwa hal yang paling menjengkelkan juga kunikmati adalah meramu kata untuk hal yang tak tersentuh. Untuk keindahan di atas sana yang lebih gemerlap daripada bintang. Untuk sesuatu yang lebih berharga daripada mutiara dan permata. Untuk hal yang lebih luas dari samudra dan lebih dalam dari apapun.

Penyair mana yang dikenal dalam sejarah tanpa adanya kerinduan yang menyertainya?

Kerinduan memang hanya sebuah kata, tidak lebih. Bahkan, ada yang bilang hanya sebuah rasa, bukan cinta. Jika itu tak tersampaikan, serasa putaran bumi seakan melambat dan merusak tatanan keistimewaan semesta. Itu sungguh rasanya  tak mengenakkan. Yang rindu, yang menderita.

Maka, kata adalah sebuah wadah pelarian. Rangkaian kata adalah representasi dari ketidakadilan perasaan. Gampangkan saja, bahwa rindu dapat diobati dengan kata. Ramuan kata-kata diakui sebagai pelarian sekaligus penawar derita yang memilukan. Semakin indah kata yang digubah, katanya semakin besar rindu yang dipelihara.

Ketiga, bahwa realita kehidupan telah menghapus jelas delusi bayangmu. Yang kadang aku meracau di balik anggunmu, kini aku hanya bisa mengigau di antara cerita tentangmu. Yang dulu aku berjalan di sisimu, kini aku hanya bisa mengingat langkah-langkah itu dan melukis jejak-jejak candamu.

Kehidupan punya ceritanya sendiri. Pun rindu, juga punya cerita tersendiri. Kehidupan telah mencipta rindu untuk menghidupi yang merindu. Dan ketika kerinduan itu hidup, maka hiduplah sang penikmat rindu.

Terakhir, maka aku akan keluar. Menatap bintang-bintang itu, sendiri di seluk malam paling sunyi. Menangkupkan kedua tangan dan membenamkannya dalam dada. Mengingat parasmu dan tawamu. Merapalkan doa-doa suci ajaran Ilahi. Menitipkannya pada satu bintang yang paling terang, hingga shubuh menghampiri.

Kemudian, aku tahu bahwa malam ini aku telah merayakan sebuah kerinduan.