Arsip Kategori: Puisi

Atau Mungkin Senyumnya yang Membuatmu Bergetar

Seratus kata manis, yang mungkin bisa membuatmu tersenyum sedemikian rupa, yang membuatmu tertawa terbahak dengan segala kelelahan rahang-rahangmu, yang akan membuatmu melayang ke angkasa bersama bulan dan bintang dan langit biru. Atau seribu puja-puji menawan yang menghangatkan hatimu, yang membuat jiwamu menjadi lebih teduh, yang membuat matamu berkaca-kaca hingga pandanganmu mengabur, yang akan membuat hari-harimu berbunga dengan wewangian yang harum layaknya bunga-bunga kenanga dan melati.

autumn-2789234_960_720

Atau sesosok wajah yang anggun, yang menari dalam pelupuk mata dan hatimu, yang berjingkat-jingkat memasuki ruang dada dan kepalamu, yang berlari ke sana ke sini memenuhi fikir dan anganmu. Atau mungkin puisi-puisi dan surat cinta, yang akan mengoyak kedamaian jiwamu, yang membuatmu gelisah, yang apabila kamu makan dan minum tak terasa lagi nikmatnya, yang apabila kamu mencoba memejamkan mata hanya bayang dan senyum yang terlintas, yang apabila kamu membacanya satu demi satu kata yang tertulis serasa melayang, kamu terlalu berlebihan.

Atau mungkin sapaan halus yang keluar dari bibirnya, yang bisa membuatmu hitam-putih memeluk diri sendiri, yang membuatmu menjadi lebih bersemangat, yang membuat hatimu berbunga-bunga, yang membuat wajahmu memerah, yang membuat tangan dan kakimu lemas tak berdaya.

Atau saat dia tertawa, dengan senyum manisnya, dan keindahan matanya, yang membuatmu hafal nama-nama surga, yang membuatmu terkapar dalam mimpi-mimpi yang nyata, yang akan menuntunmu melewati hamparan bunga-bunga mawar di pekarangan rumahnya.

Atau saat jalan-jalan basah, daun-daun kering berguguran, bunga-bunga mekar berbalut embun, rumput-rumput mulai semi, burung-burung berkicau dengan merdunya, awan-awan mulai menghias langit, atau saat Tuhan mulai melukis langit menjadi lebih biru dari sebelumnya, dan kamu mengamatinya dengan seksama, kamu mengetahuinya, kamu menjadi saksi itu semua.

Atau saat genangan-genangan itu mulai memperlihatkan bayang-bayang dunia, ada kamu dan dia berselimut gerimis, meratapi keindahan masing-masing, meringkuk dalam diam, mengingat masa lalu, menerjemahkan kenangan, menafsirkan mimpi-mimpi, dan mulai merangkai rindu kembali.

Atau semua tentang kebahagiaan di dunia, yang membuatmu terdiam, terpejam, dan terkenang. Atau tentang kebahagiaan dalam dadamu, yang membuatmu rindu, semakin dalam semakin candu, dan mulai berontak untuk sekedar bertemu. Atau tentang kebahagiaan satu sama lain, ceritamu hanya berkutat tentangnya, dan ceritanya baru akan mulai menuliskan kisah tentangmu.

Pada akhirnya, dirimu bukan lagi milikmu, dan dirinya bukan lagi tak ada yang punya.

 

#OktoberBahagia

Iklan

Ada Dirimu dalam Setangkai Mawar


Pagi yang ceria ku petik Mawar di taman. Mawar yang harumnya menenangkan hati dan menentramkan jiwa. Telah lama aku menunggu mekarnya. Di hari-hari yang lalu telah kupupuk ia dengan kesetiaan dan ketulusan. Kurawat sepenuh hati dengan segala harap kupunya.

Semerah bibirmu dikala melantunkan bait indah puisi, Mawar itu memabukkan setiap mata yang memandang. Seharum bau tubuhmu saat menari di gelap gulita bayangku, aku abadikan ia dalam sudut hatiku yang paling rahasia.

Dengannya.

Aku menari di antara pantai dan karang. Aku limbung bersama angin bukit dan lembah. Aku merasa terbang bersama awan dan burung-burung. Gairahku tergerak hebat oleh alunan shimpony kehidupan. Melodinya membawaku ke hamparan harapan yang indah penuh keajaiban.

Aku percaya. Bumi yang dingin nan sunyi telah melahirkan setangkai keindahan ragawi. Kesunyian telah memeluknya begitu erat. Surga telah menyiraminya dengan tetesan-tetesan embun yang suci.

Setangkai kehidupan itu bermakna. Mempunyai tafsirannya sendiri. Jelmaan dari bidadari yang menghuni ketenangan batin. Gambaran dari luasnya warna dan dalamnya wewangian.

Tak ada salahnya aku memetiknya dalam kerinduan. Seperti halnya Tuhan yang telah memetik Layla dan Majnun untuk kerinduan-Nya melihat mereka berdua bersulang. Tak ada alasan pasti untuk membayar sebuah kerinduan itu. Sama halnya diriku yang merindumu dalam waktu dan hanya bisa sebatas memetik setangkai Mawar untuk bisa mengenangmu seutuhnya.

Detik demi detik yang tak bisa diulang, maka Mawar tetaplah Mawar. Yang mulanya merah perlahan serupa malam yang sepi yang menyedihkan. Yang mulanya harum mewangi, perlahan memudar bersama angan-angan yang tergerus logika.

Dan pada akhirnya Mawar tinggallah Mawar yang menyisakan tangkai tak berdosa. Bersama alunan kepiluan dan sedihnya kerinduan, ku peluk ia dalam diam tanpa ada tetesan air mata di sela kesunyian.

Harum masih tersisa dalam kalbuku hingga detik-detik akhir layunya. Puja-puji surga telah kugubah untuk menghormati keanggunannya sebelum ia jatuh tersungkur memeluk sunyi. Rasa syukur telah kuucap ribuan kali dalam debar yang gelisah atas gelap yang menelannya. Aku merana dalam diam, hina dalam kenangan, dan menangis dalam pelukan angan.

Dan biarlah berlalu apa yang memang menjadi masa lalu. Dan lupakan apa yang telah menjadi kenangan menyedihkan.

Desemberku

Kabar darimu telah kutunggu sejak hari-hari yang lalu. Di persimpangan, di tepi sungai, dan di dermaga-dermaga telah kutunggu perihal harum namamu.

Tasbih yang melingkar di leherku, sajadah yang terhampar di lantai-lantai pertapaanku, dan butiran airmata yang menguap memenuhi ruang pengasinganku, adalah memori-memori abadi yang tak bernafas. Yang menjadi teman sejati dalam merengkuh doa-doa samawi. Saksi abadi bahwa aku adalah pecinta sekaligus perindu yang pernah memuja dan menari bersama harimu.

Desember, perlu engkau tahu, jari-jari tanganku pernah bergetar hebat. Jantungku ini pernah berdetak lebih cepat dari detik arlojiku. Debar hatiku pernah menjadikanku manusia setengah limbung. Tubuhku yang kurus ini pernah terkapar dalam dekapan hari-harimu. Perlu engkau tahu, surga pernah berada di dadaku ketika engkau menyapa, tersenyum, bertukar kata dengan jiwaku yang lemah ini.

Janji-janji indah para penenun malam yang kesepian pernah terukir dalam bingkai indah pesonamu. Menjadikanmu pujaan sekaligus kekasih yang dapat menawar segala rindu yang mendera. Menjadikanmu tempat dan waktu terindah untuk bersua di taman-taman mawar nan harum.

Akulah penikmatmu, Desember. Bersama dengan fajar yang keunguan, bersama dengan burung-burung Gereja, bersama daun-daun yang bersemi, aku setiap pagi menari. Bersulang dengan syair-syair cinta. Berbagi cawan yang berisikan anggur-anggur termanis. Bersenandung nada-nada para pujangga. Kami berbahagia di kedalaman jiwa dan hati kami.

Bila harimu diantar oleh tetesan-tetesan gerimis. Diiringi oleh simphoni alam. Maka kan kusambut harimu dengan sajak dan puisi dari Tuhan. Dengan secangkir semesta yang beraromakan wewangian surga. Dengan sisa-sisa rindu semalam yang masih memenuhi ruang kalbuku yang tak berdinding dan berpintu.

Kusampaikan ini untukmu yang lebih sejati dari diriku. Bersama kata yang terjalin indah dari lembah dan bukit hati seorang pecinta. Aku tak lebih dari seorang perindu. Seorang penyair yang kehabisan kata karena apimu telah membakar urat-urat lidahku.

Tetaplah bersua dengan ruhku. Berjanjilah menyimpan semua kenangan yang pernah menjadikanku seorang linglung yang mabuk asmara. Teruslah mempesona.

Adalah aku yang tak pernah kecewa bersanding denganmu. Yang menjadikanmu paling istimewa diantara kerabatmu.

Adalah aku yang pernah melayang di pangkuanmu. Yang didekapanmu kulantunkan bait-bait indah dari penyair terbaik. Kubisikkan doa-doa yang menghujani langit.

Sungguh. Aku bahagia pernah berbagi cerita di keping harimu.
Yogyakarta, 12 Desember 2016

Bagiku langit tetaplah indah untuk diceritakan

Langit waktu siang ataupun malam tetaplah sama. Memberi kesejukan dan kenyamanan. Ada awan-awan yang damai ketika kau ingin melihatnya di waktu siang. Ada jutaan bintang yang menari ketika kau rindu pada malam hari. Bahkan purnama akan melengkapi kebahagiaanmu sebelum kau bertemu dengan mimpimu.

sky-62732_960_720

Ketika kau menyuruhku menceritakan langit, maka aku akan duduk di sampingmu. Kita akan berada di teras menghabiskan waktu bersama. Entah kau maunya siang ataupun malam. Bagiku langit tetaplah indah untuk diceritakan. Tentu kau akan merasakan senang bukan?

Tatkala matahari mulai berkawan dengan embun-embun pagi, fajar tak ubahnya setangkai bunga mawar yang merekah bagi langit yang dingin. Sinarnya boleh kau lukiskan sebagai nyala api yang temaram.

Perlahan-lahan mendaki langit, menciptakan suasana tenang penuh kerinduan. Jika kau mau, kau boleh berdiri menantang sang fajar. Kau boleh hirup nafas sedalam-dalamnya untuk merasakan kemegahan ciptaan Tuhan yang terselip dalam terbitnya matahari.

Seperti anak-anak yang riang ketika mendapatkan berkah, burung-burung kecil itu mengudara menyambut hari. Terbang kesana-kemari untuk menyanyikan lagu-lagu alam. Tentu kau bisa mendengar nyanyiannya. Tak terlalu keras, tapi itu cukup akan membuatmu tersenyum.

Menjelang siang, suasana akan menghangat. Menjalari pohon-pohon dan atap-atap. Angin berhembus untuk menandakan bahwa dingin telah lenyap dan telah tergantikan oleh kehangatan.

Aku akan mengikutimu duduk lagi. Dan kita masih menikmati langit. Seperti paginya orang yang romantis, selalu ada kopi di meja untuk sekedar teman menerjemahkan langit.

Langit selalu mempunyai ketenangan tersendiri. Ia berdiri sendiri sebagai pelengkap jagat untuk mempertebal keimanan. Semacam-macam apapun perbuatan di bawahnya, langit tetaplah langit, yang hanya bisa melihat tanpa pernah menegur.

Langit menyimpan berjuta-juta rahasia. Berjuta-juta keinginan. Berjuta-juta impian. Termasuk impianku kala dulu ketika aku sangat-sangat ingin menemuimu, tetapi yang keluar hanyalah barisan doa yang kutitipkan pada langit untuk Tuhan.

Langit selalu menerima. Langit tak pernah menolak. Apa kau pernah tahu, langit menolak impian hanya gara-gara tidak sesuai dengan si pengimpi? Apa kau pernah dengar, langit menolak doa hanya karena baitnya terlalu buruk? Langit tak sekejam itu. Langit adalah hamba yang penurut dan penerima.

Saat siang menjelang, langit terlihat indah dengan warna biru yang membentang. Seperti lautan, warna biru yang menenangkan sekaligus menyenangkan. Di sudut-sudutnya beriringan awan-awan putih yang sedang menjelajah. Kadang tipis-tipis, kadang juga tebal bergelembung, saling bertumpuk.

Jika seumpama kau sabar menatap langit kau akan menemukan lebih banyak keindahan. Kau akan menemukan burung-burung yang sangat kecil, yang sedang berkejaran menodai birunya langit. Saking kecilnya, mungkin kau akan menganggapnya bintang yang hitam. Padahal itu nyata, dua burung yang saling kasmaran, berkejaran menikmati angin yang sedang berhembus.

Kau akan menemukan bentuk-bentuk awan yang lucu, unik, mengagumkan, bahkan menjengkelkan. Di siang yang terik, kadang-kadang langit menyajikan awan-awan seperti kumpulan kelinci yang bebas di padang rumput. Jika kau pernah melihat domba, maka kau tak akan sebegitu kaget jika pandangamu melihat domba-domba itu sedang merumput di hamparan birunya kedamaian.

Setelah hari mulai menunjukkan titik tengahnya, maka saat-saat seperti ini lebih baik kau dan aku istirahat sejenak. Masuk ke dalam rumah dan kita akan membicarakan apa saja termasuk hewan-hewan yang kita temui pagi tadi. Kita akan membahas hal yang mungkin lucu dan juga malah tidak perlu. Yang pasti kita menghabiskan waktu untuk menunggu langit bersahabat kembali untuk dinikmati.

Masuk di sepertiga siang terakhir,yang sungguh banyak dalil yang mengatakan bahwa waktu-waktu seperti ini langit akan bermetamorfosis menjadi lebih indah dari jam-jam sebelumnya, maka aku akan mengajakmu pergi sebentar dari rumah.

Mencari suasana yang kondusif dengan hatimu yang antusias. Aku akan mengajakmu di suatu tebing yang tinggi dan langsung menghadap ke arah barat. Kita berada di atasnya dan menggelar beberapa alas sebagai tempat duduk supaya kotornya tanah tak mengganggu kesenanganmu.

Langit akan menunjukkan keanggunannya. Langit akan mengeluarkan suara-suara surgawi lewat cahaya-cahayanya. Langit akan mengabarkan padamu bahwa sebentar lagi merupakan detik-detik perpisahan antara siang dan malam.

Langit menguning bak ladang gandum yang siap di panen. Sesekali, kalau beruntung kau akan menemukan beberapa Camar terbang menuju matahari tenggelam. Menari riang. Menikmati keindahan.

Kalau aku bisa melukis, pastilah akan aku abadikan momen indah ini dalam bentuk dua dimensi yang menjadi pengantar tidurmu ketika kau memasangnya di dinding kamarmu. Sayangnya aku bukanlah orang yang pandai dalam menggoreskan cat. Sayangnya aku tak dibekali bakat melukis. Lukiskanku hanya sebentuk kata-kata yang bisa kau gambarkan sendiri dalam langit-langit malammu.

Sudahkah kau merasa tenang? Apa kau kini merasa senang?

Bagimu warna langit mungkin sama. Tanpa keindahan yang berarti. Sekalipun senja, itu tak akan membuatmu terkagum. Tapi, di sini, aku yang mengagumimu, akan berusaha agar kau mau dan mampu mengagumi senja. Duduk, hanya duduk untuk melepas lelah dan menghapuskan gundah. Perlahan aku yakin, kau akan mengerti.

Menjelang malam, Tuhan akan sibuk menata bintang-bintang dan mulai menyiapkan bulan. Tuhan akan berfirman, ‘temanilah mereka, jadilah indah, jadilah pelangi di malam-malam yang sepi’. Tuhan menyiapkan keindahan untuk kita nikmati. Tuhan Mahakasih. Maka, dukunglah aku menyangimu dalam bentuk kasih.

Bintang itu bernama Salsabila, kataku padamu. Entah benar atau tidak bagiku bintang itu tetap bernama Salsabila. Aku tak tahu kau tersenyum atau tidak. Mungkin jika kau berkenan tersenyum, pastilah senyum itu senyum mengejek. Mana ada bintang bernama Salsabila? Perkiraanku akan batinmu.

Aku ceritakan padamu bahwa keindahan langit di malam hari serupa keindahan laut di siang hari. Intinya menawan. Bintang-bintang itu membentuk sketsa-sketsa ikan. Berenang dalam diam. Dia mempunyai warna tersendiri, aku yakin. Ada juga Sketsa bunga. Bunga Mawar yang mirip Melati. Andai aku punya sayap, pastilah sudah kupetik satu tangkai untuk kuselipkan di telingamu. Agar keindahannya menurun padamu.

Apalagi kalau purnama datang. Saat menatapnya saja, kau akan dibawa ke alam yang, jika kau menari, merasa anggun, jika kau menyanyi, maka seperti putri, jika kau berjalan, angin akan berhembus di punggungmu dan membelai rambutmu yang wangi. Purnama akan menerjemahkan semua mimpimu. Purnama akan menghapus sedihmu. Purnama akan menjadi daya magis yang menenangkan batinmu.

Dan pada akhirnya langit tetaplah langit. Yang menyimpan keindahan surga. Yang tak pernah tergapai oleh mimpi tertinggi sekalipun. Tapi, dengan keberadaanku disampingmu, setinggi apapun langit, seindah apapun langit, aku akan menceritakannya dengan sederhana, tanpa berlebihan. Aku akan menceritakan padamu bahwa setinggi apapun langit, sebanyak apapun bintang, percayalah bahwa mereka ada untuk menghibur malammu yang gelap.

Bayang-bayangmu di sana

images
Sumber: cerpen.com

Aku waktu itu berada jauh dibelakangmu. Memandangmu penuh harap dengan melodi-melodi jalanan yang berisik. Kau tampak anggun dengan pesona merah mudamu. Senyum manismu seakan madu surga yang memabukkan. Aku tahu kamu sedang menunggu sesuatu. Dan itu bukan aku.

Entah kau sadar atau tidak, aku duduk manis di samping ibu-ibu yang sedang memainkan smartphone-nya. Jauh berada di belakangmu. Dari sini nampak jelas keanggunanmu dan kelincahanmu. Secara langsung aku bisa menafsirkan keramahanmu jika kau tak berlagak cuek seperti itu.

Aku bisa saja menghampirimu. Menyapamu dengan kata-kata yang sedikit bersahabat. Aku juga bisa membahas apa saja sesuai dengan keinginanmu. Meski tidak sempurna, aku yakin pemikiranku sama dengan mawar-mawar itu. Kelihatannya saja berduri, tapi jangan menyangkal bahwa itu akhirnya memang indah.

Tapi, kau tahu juga. Bahwa aku tidak akan melakukannya. Aku cukup menikmati momen itu. Aku sendiri tak mau merusaknya dengan ocehan hayalan yang bisa merusak senyummu. Biarlah kau menunggu di sana. Biarlah sepi menemani nyamanmu. Kau akan lebih fokus bermain dengan anganmu. Kau akan mendapatlkan tafsiran-tafsiran yang luar biasa.

Aku masih saja di sini melukis indah parasmu dengan memoriku. Segala yang berhubungan dengan arlojiku kan kuperlambat sedemikian rupa untuk menikmati indah pelangi samar-samar di matamu. Kali ini harum nadamu hanya samar-samar bersautan dengan kicau burung-burung jalanan.

Aku menghitung setiap kemungkinan-kemungkinan yang terjadi apabila aku tetap di sini dan jika aku menghampirimu. Tapi, tenanglah, perhitunganku tak akan merugikanku dan mengecewakanku. Aku tetap di sini menghapal lekuk indah anggunmu untuk kubawa pulang dan ksesalkan dalam referensi mimpiku. Aku sungguh bukan naïf, tapi inilah fakta perasaan yang dibatasi oleh hukum semesta.

Kau pernah lihat bintang. Atau begini, apa kau pernah mencintai purnama. Apa kau pernah berharap disaat ada bintang jatuh.

Aku tahu momen-momen itu hanya pantas dinikmati dengan mengaguminya. Dan setiap melihatnya, ada suasana magis yang membuat hati nyaman, pikiran tenang, dan tak ada satupun masalah yang yang bisa mengganggu.

Pun juga kamu. Sekali lagi, tetaplah bernafas dan menjalani hari-harimu. Biarlah semesta yang menjagamu. Biarkan angin menuntunmu terbang. Hingga kau yang ada disana tahu ada puisi-puisi yang berada disampingmu. Menggantikan bayanmu dan selalu menemanimu.

Jadi, yang terjadi kemudian, aku hanya menikmati nafasku. Setiap nafas yang kuhirup di sini, aku bersyukur masih bisa memikirkanmu di sudut pemikiran-pemikiran yang lain. Aku masih bisa menggodamu dengan pikiran dan anganku hingga waktu-waktu berlalu.

Hingga akhirnya, aku tak bisa menemukanmu lagi di sini. Meski, harum jejakmu masih terasa, tetap saja rindu ini belum sepenuhnya terpuaskan. Rindu yang sekarang masih sama dengan rindu-rindu yang lalu. Menyenangkan.

​Selamat merayakan kerinduan

Pertama, sebuah kehormatan bagiku untuk bisa menikmati kerinduan ini. Di sela-sela waktu sibukku di langkah-langkah cepatku dan di malam-malam sepiku, semua terasa lebih berwarna untuk sebuah nama yang pabila terucap akan tercipta debar yang menggema.
Sebuah rasa yang tak terdefinisi oleh kata dan ucapan. Rasa yang tersembunyi oleh keyakinan dan cita. Mengadopsi takdir Tuhan yang telah tertulis rapi di langit-langit malam para pecinta.

Kedua, bahwa hal yang paling menjengkelkan juga kunikmati adalah meramu kata untuk hal yang tak tersentuh. Untuk keindahan di atas sana yang lebih gemerlap daripada bintang. Untuk sesuatu yang lebih berharga daripada mutiara dan permata. Untuk hal yang lebih luas dari samudra dan lebih dalam dari apapun.

Penyair mana yang dikenal dalam sejarah tanpa adanya kerinduan yang menyertainya?

Kerinduan memang hanya sebuah kata, tidak lebih. Bahkan, ada yang bilang hanya sebuah rasa, bukan cinta. Jika itu tak tersampaikan, serasa putaran bumi seakan melambat dan merusak tatanan keistimewaan semesta. Itu sungguh rasanya  tak mengenakkan. Yang rindu, yang menderita.

Maka, kata adalah sebuah wadah pelarian. Rangkaian kata adalah representasi dari ketidakadilan perasaan. Gampangkan saja, bahwa rindu dapat diobati dengan kata. Ramuan kata-kata diakui sebagai pelarian sekaligus penawar derita yang memilukan. Semakin indah kata yang digubah, katanya semakin besar rindu yang dipelihara.

Ketiga, bahwa realita kehidupan telah menghapus jelas delusi bayangmu. Yang kadang aku meracau di balik anggunmu, kini aku hanya bisa mengigau di antara cerita tentangmu. Yang dulu aku berjalan di sisimu, kini aku hanya bisa mengingat langkah-langkah itu dan melukis jejak-jejak candamu.

Kehidupan punya ceritanya sendiri. Pun rindu, juga punya cerita tersendiri. Kehidupan telah mencipta rindu untuk menghidupi yang merindu. Dan ketika kerinduan itu hidup, maka hiduplah sang penikmat rindu.

Terakhir, maka aku akan keluar. Menatap bintang-bintang itu, sendiri di seluk malam paling sunyi. Menangkupkan kedua tangan dan membenamkannya dalam dada. Mengingat parasmu dan tawamu. Merapalkan doa-doa suci ajaran Ilahi. Menitipkannya pada satu bintang yang paling terang, hingga shubuh menghampiri.

Kemudian, aku tahu bahwa malam ini aku telah merayakan sebuah kerinduan.

Mencari Keanggunan Puisi

Dalam jiwa semesta, ada puisi yang menggambarkan keagungan penciptaan. Dalam jiwa pecinta, ada puisi untuk menghidupkan segala rusuk dan sendi. Dalam bayang-bayang rindu, ada puisi untuk menggambarkan kesedihan jiwa dan kepiluan perasaan. Ada puisi untuk setiap hal yang indah juga sengsara.

Ketika aku berjalan di antara puing-puing rindu dan kesedihan, kadang aku lupa akan keanggunan puisi. Sebuah kemegahan kata dan sajak yang menciptakan kalori-kalori kehidupan. Hingga aliran darah berpacu dengan tarikan nafas, semua karena puisi yang dicipta untuk mencipta bayang-bayang halusinasi.

Kapan kau menerima sebuah puisi? Puisi yang merayumu dan membuatmu melayang sampai ke titik surga paling tinggi. Lebih realistis dari semua hayalan yang pernah kau bayangkan ketika hujan turun dan malam datang.

Maka, aku akan merangkaikan kata-kata semesta, meraciknya dalam huruf-huruf yang dikirimkan malaikat-malaikat langit. Hingga membuatmu limbung bersama angin-angin pantai yang merindukan. Mengantarmu ke rumput-rumput hijau di antara lembah-lembah keabadian.

Dalam kata yang tak sempat tertulis oleh pena. Dalam kata yang tak pernah terucap oleh hati. Semesta akan berdiri di sampingmu, membelaimu, membisikkan doa-doa cinta layaknya orang tercinta membacakan puisi untuk orang terkasih.

Dan pada waktu yang mengabarkan senja telah tiba, aku akan duduk di sampingmu. Menggenggam janji-janji suci yang telah tertulis di angan dan cita para pecinta. Aku sungguh akan meletakkan keanggunanmu dalam setiap kata yang aku gubah dalam rindu dan penantian. Dan kemudian, aku yang limbung bersama angin-angin pantai itu. Berucap, bahwa seindah apapun senja, tetap lebih indah jika ada kau untuk menikmatinya.

Dalam jiwa semesta, puisi adalah kabar terindah untuk jiwa-jiwa yang sepi. Dalam jiwa pecinta, puisi adalah hal terindah yang menggambarkan keanggunan kekasih. Dalam jiwa puisi, kekasih adalah pusat semesta yang menari dalam angan-angan kerinduan.

“Aku Mencintaimu”, Kataku,

virtue-of-muslimah
sumber: quosa.wordpress.com

Apa salahnya jika di awal aku katakan bahwa aku mencintaimu.

Mencintaimu. Tidak ada hal yang menarik di masa muda untuk tetap berseri dan tetap giat bekerja. Sesuatu hal yang magis, yang memberikan berjuta makna serta motivasi untuk terus bergerak dan bernafas.

Tangan Tuhan seluas jagat raya ini. Jika mencoba membayangkan, bayangkanlah Tangan Tuhan sehalus rasa yang tak pernah terlihat namun ada untuk dinikmati. Tangan itulah yang menuntunku, membawaku ke suatu tempat yang gersang dan terhampar luas ilalang kering, menunjukkanku bahwa ada sisi lain dunia ini yang indah tanpa ada warna hijau.

Aku berjalan pelan mengikuti irama nadi dan angin yang bersahaja. Membelai awan dan menikmati setiap langkah yang kuinjakkan. Aku menghitung setiap bunga ilalang yang berguguran di sapa lembutnya angin. Mencoba menangkapnya dan akan aku bawa pulang untukmu di rumah. Aku tahu ini indah.  Lebih dari sekadar indah. Menakjubkan.

Tuhan tak serta merta memberitahuku bahwa tempat tersebut hanyalah sebuah perantara. Sebuah ilusi mimpi tentang keindahan kehidupan dalam sesuatu yang tak pernah terbayangkan. Seakan nyata aku telah tersihir oleh apa yang terlintas dalam benakku. Menjadikannya impian untuk bersua antara aku dan kamu. Menikmati senja yang dibalut oleh tasbih-tasbih rerumputan yang habis disiram oleh kerinduan akan hujan. Memperkirakan sepersekian detik dan menghitung bersama denganmu untuk menyaksikan malam berganti. Agar kau tahu itulah ujung hari yang indah dan kita telah bersama menikmatinya.

Aku telah mencintaimu. Bahwa aku telah mencintaimu sejak engkau dalam bayang-bayang mimpiku. Tuhan telah menuliskannya dengan jelas takdirku dan takdirmu. Dan saat ini takdirku adalah mencintaimu. Membawamu ke dalam mimpi-mimpiku dan menyulam wajahmu dalam setiap kepingan rindu dalam hatiku.

Aku sepenuhnya tahu ini tak pantas. Aku juga sepenuhnya tahu bahwa ini belum waktunya. Tapi apa salahnya jika aku di awal mengatakan bahwa aku mencintaimu.

Kau perlu tahu bahwa orang yang mencintai adalah orang yang paling bahagia. Yang bisa menikmati kerinduannya dan cintanya bersama malam dan hujan. Merasakan nikmatnya memimpikan kekasih pujaan bersama secangkir kopi. Menafsirkan kesepian dan kehampaan dengan sajak dan puisi.

Kau juga perlu tahu, sesingkat apapun kau datang dalam mimpiku, itu sungguhlah berkah Tuhan tersendiri bagiku. Barangkali hanya lewat mimpilah aku bisa bercakap denganmu. Membelai wajah cantikmu untuk mengobati rasa rinduku. Dan akan aku ajak kamu menikmati indahnya bunga ilalang yang seperti salju. Melambai ria penuh dengan senyuman Tuhan yang tersamarkan. Aku akan memegang tanganmu dan kita akan menari bersama di bawah alunan musik alam yang mendayu-dayu.

Percayalah, aku masih mencintaimu. Hingga di akhir katapun aku tidak akan pernah bersalah jika aku tetap mencintaimu.

 

Yogyakarta, 12 April 17

 

Pada Suatu Kata yang Tertahan oleh Derita Rindu

Pada suatu do’a teruntuk dirimu yang sendu. Segala tetes air mata adalah saksi bahwa hati dan diri tak lagi mampu menahan rindu yang menggebu. Sebait demi sebait selalu menawarkan rasa haru nan pilu jika menyebut namamu. Entah kau tahu atau tidak, do’a ini sungguh adanya dan akan terus mengalir bersama air mataku.

Pada suatu hujan yang menggetarkan setiap dada yang kesepian. Kutata semua hal yang mungkin untuk mengenang memori tentangmu satu per satu. Seperti jatuhnya hujan, memori bersamamu tercecer di setiap ruang dan waktu. Jika setiap tetesnya kenangan, maka tetesan air mataku adalah bagian dari jiwamu.

Pada suatu senja yang masih menyisakan hati yang tak lagi utuh. Ku kuatkan segala daya dan upaya untuk selalu percaya akan cinta. Mengasihi pada diri sendiri bahwa cinta tak lagi menyiksa. Bahwa cinta tak lagi membutakan mata. Bahwa cinta tak seperti nafsu yang menganga. Cinta mengajarkanku apa arti merindu. Menjadi satu dengan kalbu.

Pada suatu malam yang sepi ditemani secangkir kopi yang tak banyak arti. Kuucapkan rapalan doa-doa beraromakan surgawi. Hingga angin malam menepi menampar segala rindu yang semakin sunyi. Purnama mengaji. Memancarkan cahaya cinta untuk penikmat sepi. Teringat namamu, aku mulai limbung di tengah-tengah bayanganku sendiri. Lunglai, lelap dalam hati yang memeluk diri.

Pada suatu pagi yang embun bak mutiara Tuhan. Kuterjemahkan dinginnya kabut dan rimbunnya pengharapan. Kutafsirkan segala hal yang muncul dalam benak dan hati yang menggigil. Diterpa rindu, aku ingin sekali hidup lebih lama untuk mengenalmu. Sekadar tahu kabarmu, dan juga memberitahumu bahwa embun adalah bayangmu yang terselip dalam penciptaanNya yang agung.

Pada suatu waktu yang baru. Aku harus tersenyum. Airmata tak perlu menemani. Hati tak perlu lagi berduka perihal rindu. Jiwa tak kan kubiarkan merana. Getir pilu bernafaskan cinta biar Tangan Tuhan yang mengajari. Jalan satu-satunya aku harus mengalah. Menyerahkanmu pada takdir dan indahnya semesta. Agar keindahanmu tak membuat mataku buta dan jiwaku layu. Dan aku akan melanjutkan ceritaku meski tanpa namamu.

Yogyakarta, 19042016