Arsip Kategori: Prosa

MASALAHKU

“Apa kamu punya masalah?”

Entahlah. Sedemikian rumitnya permasalahanku, sehingga tak kusadari apa masalahku.
Berupa-rupa persoalan, kekhawatiran, ketergesaan, tapi kukira itu bukan permasalahan. Semuanya berjalan begitu adanya. Dipikir, tidak dipikir, pasti akan berlalu seiring bergantinya waktu.

Terus bagaimana,
Sekali lagi entahlah, aku tidak pandai mendefinisikan masalah. Apa lagi masalahku. Aku lebih suka jika aku baik-baik saja dan tidak punya masalah. Tapi, apakah perasaan seperti ini merupakan sebuah masalah?
Entahlah.

Dari sekian waktu, dan tahun berlalu, kukira aku lebih suka jika kamu yang punya masalah. Entah ringan atau rumit. Bagaimana bisa aku menglasifikasikan masalah antara ringan dan rumit? Entahlah.

Tapi, pokoknya aku lebih suka jika kamu yang punya masalah.
Kamu akan menghubungiku. Bercerita. Berbagi persoalan.
Aku tahu, kamu sungguh-sungguh tak butuh saran. Tak butuh jawaban. Kamu hanya butuh teman berbicara. Teman yang mendengarkan. Hingga kamu mengira jika bercerita, masalahmu seolah-olah pudar. Ada rasa lega, jika mungkin kamu boleh membahasakannya.

Dua jam, empat jam duduk satu meja, sungguh tak ada kata lama. Itu sangat sebentar jika dibandingkan dengan lamanya kamu menyimpan masalahmu itu.

Kata demi kata terlontar satu per satu. Runtut dan berirama dengan seruputan kopi dan kentang goreng. Lembut dan teratur bersama alunan sunyi dan angin malam yang menghembus.
Hingga pada titik kamu lelah, dan bertanya. Apa kamu juga punya masalah?

Aku mengarang beberapa cerita. Tepatnya menambah-nambahi cerita yang mungkin bisa jadi masalah. Membuat drama dalam rangkaian kalimat.
Entahlah.

Kita tertawa-tawa. Saling menghela nafas. Berkesimpulan dan menebak-nebak akhir dari masing-masing permasalahan.
Entahlah. Hish.

Gantian waktu yang bercerita. Loncengnya sunyi dalam kehampaan. Detikannya mengisyaratkan perpisahan di ujung malam.
Sebelum itu, kita mengatur jadwal. Membahasakan kapan bisa bertemu lagi dengan isyarat yang sederhana. Mencari-cari angka dalam kalender. Menghitung agenda yang tak tahu kapan sibuk kapan luang.
Entahlah.

Akhirnya, hanya terucap nanti kalau ada waktu lagi.
Iya.

Jalanan bising sekali. Waktu berisik tak terkira.
Padi di sawah mulai ditanam. Jagung di ladang mulai dipanen.
Pohon mangga mulai berbunga. Dan durian mulai melimpah di trotoar dan di bahu jalan.

Tak ada permasalahan baru. Tak ada cerita baru. Kamu memilih lenyap bersama waktu.

Atau mungkin ceritamu sudah beralih. Dengan beribu dalih, kamu punya hak telinga mana yang kamu pilih. Mengudar masalahmu, berbagi cerita, lantas akhirnya kamu menjadi pulih.

Tak ada kabar. Tak ada waktu luang. Tak ada nanti.

Jika terakhir kamu mau bertanya, “Apa kamu punya masalah?”
“Punya. Ini masalahku.”

 

Iklan

Atau Mungkin Senyumnya yang Membuatmu Bergetar

Seratus kata manis, yang mungkin bisa membuatmu tersenyum sedemikian rupa, yang membuatmu tertawa terbahak dengan segala kelelahan rahang-rahangmu, yang akan membuatmu melayang ke angkasa bersama bulan dan bintang dan langit biru. Atau seribu puja-puji menawan yang menghangatkan hatimu, yang membuat jiwamu menjadi lebih teduh, yang membuat matamu berkaca-kaca hingga pandanganmu mengabur, yang akan membuat hari-harimu berbunga dengan wewangian yang harum layaknya bunga-bunga kenanga dan melati.

autumn-2789234_960_720

Atau sesosok wajah yang anggun, yang menari dalam pelupuk mata dan hatimu, yang berjingkat-jingkat memasuki ruang dada dan kepalamu, yang berlari ke sana ke sini memenuhi fikir dan anganmu. Atau mungkin puisi-puisi dan surat cinta, yang akan mengoyak kedamaian jiwamu, yang membuatmu gelisah, yang apabila kamu makan dan minum tak terasa lagi nikmatnya, yang apabila kamu mencoba memejamkan mata hanya bayang dan senyum yang terlintas, yang apabila kamu membacanya satu demi satu kata yang tertulis serasa melayang, kamu terlalu berlebihan.

Atau mungkin sapaan halus yang keluar dari bibirnya, yang bisa membuatmu hitam-putih memeluk diri sendiri, yang membuatmu menjadi lebih bersemangat, yang membuat hatimu berbunga-bunga, yang membuat wajahmu memerah, yang membuat tangan dan kakimu lemas tak berdaya.

Atau saat dia tertawa, dengan senyum manisnya, dan keindahan matanya, yang membuatmu hafal nama-nama surga, yang membuatmu terkapar dalam mimpi-mimpi yang nyata, yang akan menuntunmu melewati hamparan bunga-bunga mawar di pekarangan rumahnya.

Atau saat jalan-jalan basah, daun-daun kering berguguran, bunga-bunga mekar berbalut embun, rumput-rumput mulai semi, burung-burung berkicau dengan merdunya, awan-awan mulai menghias langit, atau saat Tuhan mulai melukis langit menjadi lebih biru dari sebelumnya, dan kamu mengamatinya dengan seksama, kamu mengetahuinya, kamu menjadi saksi itu semua.

Atau saat genangan-genangan itu mulai memperlihatkan bayang-bayang dunia, ada kamu dan dia berselimut gerimis, meratapi keindahan masing-masing, meringkuk dalam diam, mengingat masa lalu, menerjemahkan kenangan, menafsirkan mimpi-mimpi, dan mulai merangkai rindu kembali.

Atau semua tentang kebahagiaan di dunia, yang membuatmu terdiam, terpejam, dan terkenang. Atau tentang kebahagiaan dalam dadamu, yang membuatmu rindu, semakin dalam semakin candu, dan mulai berontak untuk sekedar bertemu. Atau tentang kebahagiaan satu sama lain, ceritamu hanya berkutat tentangnya, dan ceritanya baru akan mulai menuliskan kisah tentangmu.

Pada akhirnya, dirimu bukan lagi milikmu, dan dirinya bukan lagi tak ada yang punya.

 

#OktoberBahagia

Kuhidupkan Dirimu

Pertama, tidak ada sedikitpun keinginan untuk melupakanmu, meniadakan keberadaanmu serta menghapus semua kenangan tentangmu. Sungguh itu bukanlah sesuatu yang aku suka. Aku lebih memilih untuk membiarkanmu tinggal di hatiku selama waktu yang kau inginkan untuk tinggal. Sesukamu aku mengizinkannya.
Sungai itu, yang menjadi candu dalam dada dan angan adalah memori hidup yang setiap saat menggangguku. Aliran airnya menghanyutkan ragaku untuk berlabuh di bayang-bayangmu. Putih riamnya telah mengantarkanku ke dunia mimpi yang hanya ada kamu di setiap sudutnya.

Kapal itu, memuat segala apa yang menjadi indah dalam balutan keanggunanmu. Membawaku melintasi samudra kerinduan akan tawamu. Segala yang datang darimu seakan memabukkanku. Menjadikanku linglung tak berdaya melawan arus kerasnya dunia percintaan.

Kedua, aksara yang mengabarkanmu telah sirna dari lembar-lembar karanganku. Tinta-tinta mengering lebih dulu jika ada namamu di awal puisiku. Hampir setiap baitnya berisikan kerinduan dan kepiluan. Kata demi kata lenyap dari barisnya mengiringi bayangmu yang semakin memudar bersama waktu.

Saban aku merapal mantra penawar rindu yang kudapat dari pujangga manapun, maka tubuh ini akan seketika roboh memeluk bumi. Terasa sakit yang sangat saat aku mulai menghapus satu demi satu huruf yang merangkai indah namamu. Bedebah kataku memaki diriku sendiri. Diri macam apa aku ini yang berani merindukan sebuah nama yang hanya terdiri dari huruf-huruf menjengkelkan tak bermakna itu. Betapa sulitnya aku menenggelamkan diriku dalam semua ini. Bukankah aku sudah bukan anak ingusan yang bosan dipermainkan keadaan. Maka aku saat itu dan saat ini akan kalah olehmu. Kalah dalam hal yang sebenar-benarnya.

Ketiga, saat aku mulai mengakui kekalahanku dalam segala hal maka aku ingin memilikimu dalam satu hal saja. Satu hal yang hanya aku dan Tuhan yang tahu. Aku menyerah menjadikanmu susuatu yang tak mungkin aku gapai di nyata dan mimpiku. Aku tak mau berjuang untuk kesia-siaan. Aku tak akan menyengsarakan diriku melangkah lebih jauh menyusuri jalan-jalan ketidakpastian. Tetapi aku sepenuhnya tak mundur. Aku akan mencari jalan memutar untuk menuju tempat yang sama. Tempat yang ada kamu di sana. Meski bukan untukku, setidaknya aku tidak sepenuhnya membuang sebagian kecil angan dan mimpiku.

Setiap hari, saat senja menampakkan keindahannya di kaki langit barat, aku selalu teringat apa yang menjadi keberadaanmu di bumi. Kau menampakkan seluruh aura positifmu untuk menerangi hari yang semakin gelap. Percayakah kamu jika aku saat itu mabuk dan mencoba mencari pegangan untuk bisa tetap berdiri.

Di tempat yang aku pijak saat ini akan menjadi saksi bahwa aku pernah berdoa untuk keselematanmu dan kehidupanmu. Bahwa aku pernah menjadi gila karna satu nama yang sangat sangat menggelisahkan. Kau akan tahu suatu hari nanti karna waktu yang akan menceritakannya.

Terakhir, aku telah jauh melangkah menyusuri jalan kerinduan yang tak berujung dan tak berpangkal. Langkah demi langkah telah ditempuh bersama samar-samar bayangmu. Maka, meski aku telah kalah dalam memanjakan diriku, aku tetap tidak akan menyesal. Aku tidak akan menyesal untuk yang ke sekian kali. Aku tidak akan pernah menyesal tentang apapun.

Dalam diriku yang paling dalam. Lebih dalam ketimbang hati sanubari. Aku sangat ingin menghidupkanmu dalam cerita baru yang sedikit banyak aku bisa mengingat apa-apa tentangmu. Kisah-kisah dengan aksara-aksara yang baru. Dengan huruf-huruf yang baru. Dengan tanda baca yang baru. Dengan kata-kata yang baru. Aku sangat ingin kau ada dalam bagian ceritaku yang lain. Cerita yang datang dari pinggiran kehidupan yang kamu pun tak ingin mengingat namanya.

Ada Dirimu dalam Setangkai Mawar


Pagi yang ceria ku petik Mawar di taman. Mawar yang harumnya menenangkan hati dan menentramkan jiwa. Telah lama aku menunggu mekarnya. Di hari-hari yang lalu telah kupupuk ia dengan kesetiaan dan ketulusan. Kurawat sepenuh hati dengan segala harap kupunya.

Semerah bibirmu dikala melantunkan bait indah puisi, Mawar itu memabukkan setiap mata yang memandang. Seharum bau tubuhmu saat menari di gelap gulita bayangku, aku abadikan ia dalam sudut hatiku yang paling rahasia.

Dengannya.

Aku menari di antara pantai dan karang. Aku limbung bersama angin bukit dan lembah. Aku merasa terbang bersama awan dan burung-burung. Gairahku tergerak hebat oleh alunan shimpony kehidupan. Melodinya membawaku ke hamparan harapan yang indah penuh keajaiban.

Aku percaya. Bumi yang dingin nan sunyi telah melahirkan setangkai keindahan ragawi. Kesunyian telah memeluknya begitu erat. Surga telah menyiraminya dengan tetesan-tetesan embun yang suci.

Setangkai kehidupan itu bermakna. Mempunyai tafsirannya sendiri. Jelmaan dari bidadari yang menghuni ketenangan batin. Gambaran dari luasnya warna dan dalamnya wewangian.

Tak ada salahnya aku memetiknya dalam kerinduan. Seperti halnya Tuhan yang telah memetik Layla dan Majnun untuk kerinduan-Nya melihat mereka berdua bersulang. Tak ada alasan pasti untuk membayar sebuah kerinduan itu. Sama halnya diriku yang merindumu dalam waktu dan hanya bisa sebatas memetik setangkai Mawar untuk bisa mengenangmu seutuhnya.

Detik demi detik yang tak bisa diulang, maka Mawar tetaplah Mawar. Yang mulanya merah perlahan serupa malam yang sepi yang menyedihkan. Yang mulanya harum mewangi, perlahan memudar bersama angan-angan yang tergerus logika.

Dan pada akhirnya Mawar tinggallah Mawar yang menyisakan tangkai tak berdosa. Bersama alunan kepiluan dan sedihnya kerinduan, ku peluk ia dalam diam tanpa ada tetesan air mata di sela kesunyian.

Harum masih tersisa dalam kalbuku hingga detik-detik akhir layunya. Puja-puji surga telah kugubah untuk menghormati keanggunannya sebelum ia jatuh tersungkur memeluk sunyi. Rasa syukur telah kuucap ribuan kali dalam debar yang gelisah atas gelap yang menelannya. Aku merana dalam diam, hina dalam kenangan, dan menangis dalam pelukan angan.

Dan biarlah berlalu apa yang memang menjadi masa lalu. Dan lupakan apa yang telah menjadi kenangan menyedihkan.

Desemberku

Kabar darimu telah kutunggu sejak hari-hari yang lalu. Di persimpangan, di tepi sungai, dan di dermaga-dermaga telah kutunggu perihal harum namamu.

Tasbih yang melingkar di leherku, sajadah yang terhampar di lantai-lantai pertapaanku, dan butiran airmata yang menguap memenuhi ruang pengasinganku, adalah memori-memori abadi yang tak bernafas. Yang menjadi teman sejati dalam merengkuh doa-doa samawi. Saksi abadi bahwa aku adalah pecinta sekaligus perindu yang pernah memuja dan menari bersama harimu.

Desember, perlu engkau tahu, jari-jari tanganku pernah bergetar hebat. Jantungku ini pernah berdetak lebih cepat dari detik arlojiku. Debar hatiku pernah menjadikanku manusia setengah limbung. Tubuhku yang kurus ini pernah terkapar dalam dekapan hari-harimu. Perlu engkau tahu, surga pernah berada di dadaku ketika engkau menyapa, tersenyum, bertukar kata dengan jiwaku yang lemah ini.

Janji-janji indah para penenun malam yang kesepian pernah terukir dalam bingkai indah pesonamu. Menjadikanmu pujaan sekaligus kekasih yang dapat menawar segala rindu yang mendera. Menjadikanmu tempat dan waktu terindah untuk bersua di taman-taman mawar nan harum.

Akulah penikmatmu, Desember. Bersama dengan fajar yang keunguan, bersama dengan burung-burung Gereja, bersama daun-daun yang bersemi, aku setiap pagi menari. Bersulang dengan syair-syair cinta. Berbagi cawan yang berisikan anggur-anggur termanis. Bersenandung nada-nada para pujangga. Kami berbahagia di kedalaman jiwa dan hati kami.

Bila harimu diantar oleh tetesan-tetesan gerimis. Diiringi oleh simphoni alam. Maka kan kusambut harimu dengan sajak dan puisi dari Tuhan. Dengan secangkir semesta yang beraromakan wewangian surga. Dengan sisa-sisa rindu semalam yang masih memenuhi ruang kalbuku yang tak berdinding dan berpintu.

Kusampaikan ini untukmu yang lebih sejati dari diriku. Bersama kata yang terjalin indah dari lembah dan bukit hati seorang pecinta. Aku tak lebih dari seorang perindu. Seorang penyair yang kehabisan kata karena apimu telah membakar urat-urat lidahku.

Tetaplah bersua dengan ruhku. Berjanjilah menyimpan semua kenangan yang pernah menjadikanku seorang linglung yang mabuk asmara. Teruslah mempesona.

Adalah aku yang tak pernah kecewa bersanding denganmu. Yang menjadikanmu paling istimewa diantara kerabatmu.

Adalah aku yang pernah melayang di pangkuanmu. Yang didekapanmu kulantunkan bait-bait indah dari penyair terbaik. Kubisikkan doa-doa yang menghujani langit.

Sungguh. Aku bahagia pernah berbagi cerita di keping harimu.
Yogyakarta, 12 Desember 2016