
oleh: kangsole
Di pagi yang cerah dengan matahari yang masih berselimutkan kabut, dua burung gereja bernyanyi di atas ranting-ranting pohon Mangga Manalagi. Suaranya merdu. Bersaut-sautan. Lengkingannya mampu bersaing dengan suara kokok ayam jago di pekarangan. Kadang bergantian. Tetapi lebih sering berkicau bersamaan.
Ada kesedihan di antara mereka berdua. Sepagi itu harusnya banyak famili mereka yang ikut menyambut hari. Meramaikan jagad sandiwara dengan alunan-alunan melodi merdu. Tetapi keserakahan nafsu telah melibas mereka semua menjadi bulir-bulir air mata bersama lagu kesenduan. Panggung pertunjukan untuk seluruh anggota paduan suara kini hanya dimeriahkan oleh sepasang burung gereja yang tak ada hubungan asmara di antara mereka, kecuali sebatas keluarga.
“Bagaimana kalau kita nanti mati hari ini?” Tanya Si Jantan di sela-sela istirahatnya berkicau.
“Bersama?” Jawab Si Betina yang juga berhenti berkicau dengan nada bertanya, karena ada rasa gelisah menulusup hatinya.
“Mungkin saja. Bukankah kemungkinan-kemungkinan selalu tidak bisa ditebak.”
Si Betina menarik nafas dalam-dalam. Kesedihan masih menyelimuti hatinya. Kekasihnya yang telah menciptakan lagu rindu untuknya, yang telah memberikan ketenangan pada jiwanya, yang telah bersama lewati hari-hari penuh kenangan bersamanya, kini terkulai kaku menjadi bangkai di bawah pohon Mangga bersama anggota famili yang lain.
“Dalam kematian, aku punya keinginan tersendiri. Aku rela mati dalam kesendirian, namun tidak ingin mati dalam kesunyian. Semengerikan apapun kematian menjemputku, aku selalu berharap ada burung lain yang menyanyikan untukku lagu-lagu kesedihan.”
Suasana di antara mereka berdua mendadak sedikit rikuh. Pengakuan Si Betina menampakkan kejujuran hati yang dibalut kesedihan. Ada rindu di setiap helaan nafas. Si Jantan memaklumi itu. Hari-hari telah menunjukkan kekejaman hidup. Detik demi detik telah merubah sanak familinya menjadi bangkai-bangkai yang bau. “Manusia keparat,” umpatnya.
“Kamu benar. Kesunyian lebih menyedihkan ketimbang kematian. Aku pun kadang gelisah ketika memikirkan itu. Sebelum semuanya berakhir dalan kenestapaan, aku ingin mengajakmu mengarungi luasnya langit. Berburu sesuatu yang dipelihara waktu, yang aku dan kamu tidak saling tahu-menahu atasnya. Mungkin ini pilihan bodoh. Tapi setidaknya kita tidak menunggu kematian di sini.”
Waktu telah mengajari Si Jantan untuk menghadapi kehidupan. Dari semenjak cindil hingga dewasa, sudah banyak kematian yang dilihatnya. Bau busuk peluru sudah sering mengganggu pikirannya. Bagi familinya pohon Mangga Manalagi adalah rumah, tempat kehidupan yang menyimpan jutaan kenangan. Tetapi waktu telah menunjukkan kuasanya. Satu-per-satu familinya meregang nyawa bukan karena usia, melainkan dentuman senjata.
“Orangtuaku mati di sini. Pujaan hatiku mati di sini. Kakak dan adik-adikku juga mati di sini. Rasanya aku akan menjadi burung durhaka, tak tahu malu, tak tahu berterimakasih, tak peduli, atau apalah jika aku meninggalkan pohon ini. Aku bukan burung seperti itu.”
Si Betina sudah bisa menguasai hatinya. Jawabannya tenang dan penuh kemantapan. Dengan sedikit menyinggung lawan bicaranya ia melanjutkan.
“Sudah bayak biji-bijian yang kumakan di sini. Darah yang mengalir dalam tubuhku hingga mengkilaunya bulu-buluku adalah wujud kemurahan Tuhan karena aku di sini. Pohon Mangga ini telah menjadi bagian dari diriku yang lain. Bau harum bunganya, warna hijau daunnya, gemerisik suara ranting yang diterpa angin, semut-semut yang merayap di dahan-dahannya, semua telah menjadi bagian dari familiku yang lain.
“Kamu lihat, bangkai-bangkai yang berserakan di bawah sana, mereka semua berperan penting dalam diriku saat ini. Belaian mereka telah menjadi karakterku. Kicauan mereka telah menjadi alunan melodi yang menjadi jalan hidupku.” Si Betina menghentikan ucapannya. Ia ingin melihat reaksi Si Jantan.
Si Jantan tidak menyahut. Pandangannya terarah ke birunya langit. Angannya melayang menembus batas-batas awan. Ia sangat ingin menghapus kenangan-kenangan yang telah didektekan Si Betina. Ia berharap rasa di hatinya tak mencampuri keinginannya.
Lama sekali kesunyian yang menyelimuti mereka, Si Betina ingin mengakhiri percakapan pagi itu.
“Aku ingin tetap bisa bernyanyi di atas sini. Sebenarnya aku ingin kita bernyanyi di atas sini. Nyanyian kita adalah doa bagi mereka yang telah menjelma bangkai. Kita tak usah pergi dari pohon Mangga ini. Aku takut mereka semakin tersiksa di alam sana. Meskipun kita burung terakhir yang menyanyi di pohon ini, itu lebih baik ketimbang kita menyanyi di dahan-dahan pohon lain.
“Dan aku tak memaksamu untuk tinggal. Pun dengan penuh harap aku tidak ingin kau tinggalkan. Bangkai-bangkai di bawah sana selalu menunggu nayanyian dari kicauan kita. Mungkin bangkai diriku nanti juga menanti nyanyianmu dari atas sini.”
Si Jantan mulai gelisah. Kalbunya tersentuh oleh serentetan penjelasan. Ia paham betul yang disampaikan saudarannya. Pohon Mangga ini juga telah menjadi bagian dari dirinya yang lain. Semua sudah menjadi bagian keping demi keping jalan hidupnya. Tetapi satu yang menguatkannya.
“Dalam sanubari yang paling dalam, aku masihlah aku, seekor burung yang dibesarkan di ranting-ranting pohon Mangga ini. Seekor burung yang tidak mungkin bisa hidup sampai sekarang, tanpa ada kasih sayang dari bangkai-bangkai di bawah sana. Aku tahu dan paham perihal itu. Bagaimanapun aku tak akan pernah melupakan itu semua. Secuil pun tak akan pernah.
“Tetapi kamu pun juga harus tahu. Sebagai seekor burung yang diciptakan bersayap oleh Tuhan, menyanyi bukanlah tujuan utamanya. Menunggu kematian bukanlah jalan hidupnya. Kenangan-kenangan masa lalu bukanlah rantai yang mengikat cakar-cakarnya. Sayap diciptakan untuk dikepakkan. Langit dihamparkan untuk dijelajahi. Pohon-pohon ditumbuhkan untuk disinggahi. Sepoi angin ditiupkan bukan untuk sekedar dirasakan, melainkan diikuti, bahkan jika perlu harus dilawan. Kita ini seekor burung. Meskipun ukurannya tak sebesar Elang, sejarahnya tak segagah Garuda, dan kelincahannya tak segesit Prenjak, Kita tetaplah seekor burung. Kita bagian dari mereka yang bersayap.
“Sekali lagi, aku tak mau menunggu kematian di pohon ini. Biarlah kematian menghampiriku di mana saja dan dengan sebab apa saja. Asalkan tidak di pohon Mangga ini dengan aroma mesiu yang menyengat.”
Si Betina tidak mau mendebat panjang lagi. Ia sudah menentukan takdirnya. Takdirnya adalah menyanyikan doa-doa surgawi. Sayap baginya adalah sebuah mahkota bagi seekor burung. Digunakan atau tidak digunakan, ia tetaplah sebuah mahkota, tidak barang rongsokan yang tak ternilai.
Dengan tarikan nafas panjang, kicauan sendu akhirnya membelah sela percakapan mereka. Sepoi angin mengamini. Ranting-ranting pohon Mangga menemani. Hijaunya daun menari mengiringi. Si Betina tak lagi menghiraukan Si Jantan. Biarlah takdir membawanya pergi. Kalaupun suatu saat ia ditakdirkan kembali, harapannya cuma satu, melanjutkan nyanyiannya untuk segala apa yang telah hidup dan terbang di pohon Mangga ini.
“Aku pergi. Jagalah dirimu untuk keselamatanmu sendiri.”
Tak banyak yang disampaikan Si Jantan untuk perpisahan mereka. Nyanyian lagu-lagu itu, seakan menjadi salam haru bagi kepergiannya. Ia tak tahu satu atau dua jam mendatang. Apakah ia yang duluan mati atau setelah kepergiannya, saudaranya yang duluan mati dan tak mampu lagi bernyanyi. Tetapi apa pun yang terjadi, tekad telah mengalir di setiap inci daging dan helai bulunya. Takdir bagi burung kecil seperti dirinya telah tergoreskan di lembaran-lembaran biru langit. Yang pasti ia tak diam dan menunggu kematian datang.
Yogyakarta, 05092017
*Tulisan ini untuk menghormati kicaun burung-burung gereja yang setiap pagi menyanyi di atas atap kamarku.