Semua tulisan dari kangsole

Mari jalin Silaturrahim dengan saya

MASALAHKU

“Apa kamu punya masalah?”

Entahlah. Sedemikian rumitnya permasalahanku, sehingga tak kusadari apa masalahku.
Berupa-rupa persoalan, kekhawatiran, ketergesaan, tapi kukira itu bukan permasalahan. Semuanya berjalan begitu adanya. Dipikir, tidak dipikir, pasti akan berlalu seiring bergantinya waktu.

Terus bagaimana,
Sekali lagi entahlah, aku tidak pandai mendefinisikan masalah. Apa lagi masalahku. Aku lebih suka jika aku baik-baik saja dan tidak punya masalah. Tapi, apakah perasaan seperti ini merupakan sebuah masalah?
Entahlah.

Dari sekian waktu, dan tahun berlalu, kukira aku lebih suka jika kamu yang punya masalah. Entah ringan atau rumit. Bagaimana bisa aku menglasifikasikan masalah antara ringan dan rumit? Entahlah.

Tapi, pokoknya aku lebih suka jika kamu yang punya masalah.
Kamu akan menghubungiku. Bercerita. Berbagi persoalan.
Aku tahu, kamu sungguh-sungguh tak butuh saran. Tak butuh jawaban. Kamu hanya butuh teman berbicara. Teman yang mendengarkan. Hingga kamu mengira jika bercerita, masalahmu seolah-olah pudar. Ada rasa lega, jika mungkin kamu boleh membahasakannya.

Dua jam, empat jam duduk satu meja, sungguh tak ada kata lama. Itu sangat sebentar jika dibandingkan dengan lamanya kamu menyimpan masalahmu itu.

Kata demi kata terlontar satu per satu. Runtut dan berirama dengan seruputan kopi dan kentang goreng. Lembut dan teratur bersama alunan sunyi dan angin malam yang menghembus.
Hingga pada titik kamu lelah, dan bertanya. Apa kamu juga punya masalah?

Aku mengarang beberapa cerita. Tepatnya menambah-nambahi cerita yang mungkin bisa jadi masalah. Membuat drama dalam rangkaian kalimat.
Entahlah.

Kita tertawa-tawa. Saling menghela nafas. Berkesimpulan dan menebak-nebak akhir dari masing-masing permasalahan.
Entahlah. Hish.

Gantian waktu yang bercerita. Loncengnya sunyi dalam kehampaan. Detikannya mengisyaratkan perpisahan di ujung malam.
Sebelum itu, kita mengatur jadwal. Membahasakan kapan bisa bertemu lagi dengan isyarat yang sederhana. Mencari-cari angka dalam kalender. Menghitung agenda yang tak tahu kapan sibuk kapan luang.
Entahlah.

Akhirnya, hanya terucap nanti kalau ada waktu lagi.
Iya.

Jalanan bising sekali. Waktu berisik tak terkira.
Padi di sawah mulai ditanam. Jagung di ladang mulai dipanen.
Pohon mangga mulai berbunga. Dan durian mulai melimpah di trotoar dan di bahu jalan.

Tak ada permasalahan baru. Tak ada cerita baru. Kamu memilih lenyap bersama waktu.

Atau mungkin ceritamu sudah beralih. Dengan beribu dalih, kamu punya hak telinga mana yang kamu pilih. Mengudar masalahmu, berbagi cerita, lantas akhirnya kamu menjadi pulih.

Tak ada kabar. Tak ada waktu luang. Tak ada nanti.

Jika terakhir kamu mau bertanya, “Apa kamu punya masalah?”
“Punya. Ini masalahku.”

 

Iklan

Merampas Kesadaran.

Bangun tidur/
Sebelum mandi/
Sarapan/
Perjalanan kerja/
Sepanjang perjalanan/
Duduk/
Berdiri/
Di sela-sela pembicaraan/
Pada jam istirahat/
Selesai salam,…/
Pada jeda badan yang letih/
Pada kalut otak yang buntu/
Pulang kerja/
Sebelum tidur.
Pada pintu mimpi yang dibangun.

Dia atau dia yang merampas kesadaranmu?

Memperpanjang SIM C di Yogyakarta. Padahal Saya dari Luar Jogja. Tapi Bisa Kok.

Bagaimana sih prosedurnya memperpanjang Surat Izin Mengemudi (SIM) C di luar kota?

foto sim

Di tulisan ini saya mau bercerita sedikit mengenai pengalaman ketika memperpanjang SIM (Surat Izin Mengemudi) C di luar daerah. Dalam hal ini saya bukan asli orang jogja, pun SIM C saya dulunya juga buatnya tidak di Jogja, melainkan di Blora. Tapi karena memang detik-detik masa berlaku SIM C saya kemarin mau hangus, mau tidak mau saya harus memperpanjangnya di Jogja. Bisa sih pulang kampung dan mengurusnya di Blora, tapi saya kira itu akan memakan waktu yang lama serta tenaga yang lumayan.

Jadi teman-teman harus teliti mengenai masa berlaku SIM C kalian ya, jangan sampai telat satu hari pun. Karena jika terlanjur telat satu hari, teman-teman diharuskan membuatnya dari awal alias harus mengikuti rangkaian test dan juga praktek naik kendaraannya. Kabarnya sih sekarang mengerikan. Artinya banyak yang tidak lulus, khususnya yang emak-emak dan mbak-mbak. Hehe.

Yang perlu diperhatikan di sini adalah kita baru bisa memperpanjang SIM C itu jika sudah memasuki 2 minggu atau 14 hari dari tanggal hangus SIM C kita. Gampangnya, jika SIM C kita habis masa berlakunya di tanggal 14, maka kita baru bisa mengurus perpanjangannya setelah memasuki tanggal 1 di bulan yang sama. Kita juga masih bisa mengurusnya di tanggal jatuh tempo SIM C kita, asalkan tidak jatuh di hari libur. Jika demikian pastikan mengurusnya sebelum hari H, karena tidak ada tambahan hari meskipun jatuh temponya hari libur (Minggu atau Hari Besar lainnya).

Sekarang kita beralih ke Satpas SIM Polres Kota Jogja. Jika kita berasal dari luar kota Jogja, pastikan kita berangkat lebih pagi. Kemarin saya berangkat pukul 7 pagi. Memang saya wanti-wanti untuk berangkat pagi. Apalagi kemarin Hari Senin, pastinya ramai juga yang mau mengurus SIM C.

Sebelum kita mengurus Surat Keterangan Sehat (SKS) -persayaratan wajib pembuatan dan perpanjangan SIM- kita pastikan dulu bahwa SIM C kita sudah terdaftar secara online. Jadi kalau sudah terdaftar online kita bisa mengurusnya di daerah mana saja, sesuai tempat tinggal kita.

Caranya yaitu menanyakan langsung kepada petugas yang ada di kantor Satpas Jogja dengan menunjukkan SIM C asli kita. Nanti petugasnya akan memberitahukan bahwasanya SIM C kita bisa diperpanjang di Jogja atau tidak. Jangan lupa bawa fotocopy SIM C kita 2 lembar supaya mendapat stempel dari petugasnya. Kalau sudah distempel berarti kita sudah bisa mengurus SKS di dokter yang sudah ditunjuk oleh Satpas Kota Jogja.

Oh ya, saya berangkat pagi itu, tentunya kantor Satpas dan kantor praktek dokter untuk membuat SKS belum buka. Jadi saya tetep parkir di depan kantor prakter dokternya untuk mengumpulkan KTP yang nantinya akan diganti dengan nomor antrian.

Waktu itu saya mendapatkan nomer antrian 26, padahal sudah berangkat lumayan pagi, tapi tetep saja kalah pagi sama yang lainnya. Saya pikir nomer antrian 26 itu nantinya bakal agak siangan nanganinya, tidak tahunya pukul 09.00 saya sudah mendapatkan SKS. Mantap djiwa.

Trik saya kemarin itu mengambil antrian pembuatan SKS terlebih dahulu, baru bertanya kepada petugas dan mendapatkan stempel di fotocopyan SIM C saya. Fotocopyan inilah yang nantinya kita perlihatkan ke petugas dokter prakteknya beserta KTP asli bahwa kita bisa mengurus SIM C di kota Jogja.

Biaya untuk mengurus SKS sebesar 25.000 rupiah.

Setelah kita mendapatkan SKS, selanjutnya difotocopy di jalur masuk menuju kantor Satpas, ada di samping kiri jalan. Nanti di sana juga akan disuruh beli map untuk memudahkan file-file yang akan kita kumpulkan.

Setelah selesai, kita kasihkan map yang berisi SKS, SIM C asli, beserta fotocopyannya kepada petugas yang ada di kantor Satpas. Nanti dari sana akan diarahkan untuk mengisi formulir dan bayar-bayarnya.

Biayanya kemarin untuk memperpanjang SIM C sebesar 75.000 plus iuran PMI 5.000 totalnya 80.000. Igatan saya bagus kalau masalah uang. Hehe.

Setelah itu kita akan diarahkan ke ruang tunggu untuk pengambilan foto. Ya sambil menunggu giliran untuk difoto, kita bisa mengakses wifi gratisnya Satpas. Lumayan untuk membuka Twitter dan sesekali buka Youtube, kali aja MLI ada video baru. Hehe.

Kisaran pukul 10.00 WIB urusan perpanjang SIM C di Satpas Kota Jogja selesai. Berangkat pukul 7 dan pulang pukul 10. Alhamdulillah 3 jam sudah selesai. Ini jika saya perjalanan pulang ke Blora, hitungan 3 jam itu baru sampai di perjalanan Solo menuju Grobogan. Masih kurang 2 jam lagi untuk sampai rumah dan dilanjutkan menunggu hari berikutnya untuk mulai pengurusan SIM C. Membayangkannya saja sudah melelahkan ya. Huft.

Oh ya, jangan lupa untuk mempersiapkan uang tambahan atas kebutuhan yang tidak terduga. Mulai bayar parkir, biaya photocopy, biaya beli lotek dan es teh karena antrian pembuatan SKS lama dan lain sebagainya.

Intinya persyaratan yang wajib di bawa ketika mau mengurus SIM C itu berupa.
1. SIM C asli
2. KTP asli
3. Photocopy KTP 2 lembar
4. Bangun pagi.

Sekian tulisan saya kali ini. Semoga bisa menambah referensi kalian yang masih mamang atau ragu bagaimana sih tatacaranya memperpanjang SIM C di luar kota atau luar daerah itu. Ya dengan cerita saya kelihatannya semua daerah prosedurnya sebelas duabelas lah dengan cerita saya di atas. Maka dari itu karena kemarin saya agak kesulitan mencari artikel yang membahasnya, semoga tulisan saya ini bermanfaat. Byebye,

Sepenggal Cerita dari Negeri Seribu Masjid

maroko post card
credit dari kimkimdotcom

Malam ini saya masih menekuri sepenggal cerita yang baru saja saya terima sore tadi. Cerita dalam selembar kartu pos, dengan dua perangko bergambar wajah seorang lelaki tampan berumur setengah abad, dengan ada kata ‘Royaume Du Maroc’ di bawahnya. Saya tahu kartu pos ini berangkat dari salah satu tempat di Marokko sana. Di baliknya terdapat sebuah foto ‘Marrakech City Centre’ lengkap dengan keriuhan orang-orangnya, saya mengetahui ini karena pengirimnya alias dia mendiskripsikan dalam ceritanya.

Kata demi kata saya terjemahkan dengan bahasa sendiri. Bahasa nenek moyang saya. Ditemani secangkir kopi dan seorang teman yang sedang rebahan sambil sibuk memainkan gamenya.

“Kau tahu, tidak semua orang menikmati momen seperti ini. Secangkir kopi, sepenggal cerita, sepoi angin di luar sana, ramainya jalanan, dan khusuknya para pembaca ayat-ayat suci Tuhan di masjid-masjid dekat kamar saya. Dan ketika kau mulai membacanya, seolah-olah kau bertemu penulis cerita dan bersama-sama mengarungi kisahnya. Menawan bukan.”

Dia bercerita bahwa kali ini dia melakukan perjalanannya ke Marokko, yang ia sebut sebagai negara dengan seribu masjid, dengan muslim sebagai penduduk terbesarnya. Sampai di sini saya berpikir, bahwa Indonesia layak mendapatkan gelar negara dengan berjuta masjid. Berjuta-juta masjid dan musholla. Pun dengan penduduk yang mayoritasnya muslim. Benar bukan?

Kisahnya dilanjutkan dengan sebuah pertanyaan, ‘Kamu mungkin berpikir bahwa selama perjalanan ini saya mudah dalam menjalankan ibadah sholat kan?’ Dan dia jawab dengan ‘tidak demikian’. Dia bercerita bahwa meskipun negara itu mayoritasnya muslim, dia masih mendapatkan perlakuan yang dia anggap sedikit diskriminatif.

Alasannya karena pakaian yang dia kenakan masih kurang panjang dan belum menutupi seluruhnya layaknya ukhti-ukhti kalau di Indonesia. Padahal dia sudah menggunakan jilbab dan pakaian yang tertutup. Sopan lah bahasa manisnya.

Saya sela dengan seruputan kopi yang sudah dingin ini. Satu gelas yang dinikmati berdua. Saya lihat dalam cangkir sudah tampak ampas kopi yang hitam pekat. Mungkin ini pertanda bahwa kisahnya memang sepenggal itu, dan cerita yang saya bagikan juga sebatas ini.

Saya ingin bilang ke dia, bahwa yang sedang dia alami di sana, kini di Indonesia di beberapa tempat yang red tidak mau saya sebut, sudah mulai ada praktek-praktek demikian. Bahwa yang mau masuk ke masjid harus hijrah dulu dalam berpakaian. Harus menggunakan jilbab dll. Malah dengan jelas di pintu gerbang masuk masjid ada tulisan ‘kawasan wajib berjilbab dan berpakaian sopan’.

Ah saya tak mau mengomentari lebih lanjut soal itu.

Di akhir cerita yang dia tulis, dia melontarkan sebuah pertanyaan, ‘Kamu juga berpikir bahwa pada dasarnya masjid harus bisa menerima semuanya bukan?’

Jawaban saya. Ya, seharusnya memang demikian. Masjid adalah tempat ibadah siapa saja yang beragama muslim. Mereka berhak bercumbu ria dengan Tuhannya dan memuji kekasih-Nya di masjid itu. Seharusnya tidak ada oknum yang berkepentingan mewajibkan ini itu di dalamnya. Selagi muslimnya tahu aturan dan tidak bertindak negatif.

Kecuali memang masjid yang dari awal dibangun untuk kepentingan kelompok tertentu, dan kelompok tertentu yang ingin mengubah sebuah masjid yang sudah sesuai pada dasarnya.

Kelihatannya malam sudah semakin larut. Suara-suara orang mengaji juga sudah mulai berhenti. Jalanan juga kedengaran hanya beberapa suara kendaraan yang lalu lalang. Beberapa teman di bawah sudah pada tidur, tapi teman yang menemani saya mengulas cerita ini masih sibuk dengan gamenya. Saya lihat sudah berbatang-batang rokok yang dinikmatinya. Pantas saja kopi yang saya buat cepat habisnya.

Kartu pos ini saya simpan lagi di sebuah buku tebal bersama kartu pos-kartu pos lainnya. Bukunya saya simpan bersama dengan buku-buku koleksi saya.

Masih di malam Bulan Ramadhan, selesai membaca ceritanya tak lupa sepenggal doa saya kirimkan kepada semua teman-teman saya yang sedang merantau di tanah orang. Entah mencari ilmu ataupun sedang mencari rezeki. Semoga selalu dalam lindunganNya.

Kututup cerita ini dengan menghabiskan sisa kopi dalam cangkir kecil yang menemani saya. Saya ingin menunjukkan bahwa yang membuat kopi itu saya, pun yang bertanggung jawab menghabiskannya juga saya. Sekian.

Kopi dan Surat-Suratmu

kopi dan surat

Langit mengisyaratkan kedamaian. Awan-awan menggantung bak buah-buahan yang siap jatuh ke tanah. Matahari tersembunyi entah di mana letaknya. Suasana begitu tenang untuk secangkir kopi dan sedikit gula di pagi hari menjelang siang.
Aku tahu sekali seharusnya di jam-jam saat ini matahari sudah tampak. Cahaya seharusnya tersebar merata di seantero penglihatanku. Hangat seharusnya sudah mulai menyengat kulitku yang coklat ini. Memang begitu seharusnya suasana di jam-jam seperti ini.

Tapi ini berbeda. Suasana begitu sendu tapi tak menyedihkan. Suasana terasa nyaman di hati. Meskipun udara tak sehangat biasanya tapi ini sungguh hangat bagi yang menghirup napas dalam-dalam di teras rumah ditemani dengan secangkir kopi.

Kopi yang kubuat ini bukan kopi sembarangan. Ada sejarahnya ketika ia sampai di tanganku dan kuseduh hampir setiap hari sambil menikmatinya di pagi ataupun senja hari. Kopi ini mempunyai seribu tafsir bagiku. Ketika mulai mengambilnya dengan sendok, mencampurnya dengan sedikit gula, menuanginya dengan air panas, mengaduknya, mencium aromanya, dan menyeruputnya, semua melahirkan tafsiran-tafsiran kerinduan. Entah kerinduan pada siapa dan untuk apa.

Sambil menikmati kopi ini aku membaca ulang surat-suratmu. Surat yang telah kau kirimkan berbentuk elektronik berhari-hari yang lalu. Aku membacanya dari awal. Satu per satu aku selesaikan suratmu dengan senyum dibbibirku. “Tak menyangka sudah sebanyak ini suratmu berada di kotak masukku”. Pada surat terakhir yang kau kirmkan, kau bercerita banyak hal tentang kegiatanmu akhir-akhir ini. Bahkan kau menyampaikan pula kegelisahan-kegelisahan yang kau alami. Tak lupa kau tutup dengan kalimat yang intinya kau ingin mengetahui kabarku terakhir dan apa saja kegiatanku. Ah itu selalu membuatku risau untuk bercerita banyak tentang diriku.
Surat-suratmu selalu segar untuk dibaca. Bahkan berkali-kali pun masih enak untuk dicerna dan melahirkan senyumsenyum kecil.

Kopi kembali kunikmati di bawah langit yang tak bisa diprediksi ini. Sebenarnya aku menanti langit di atas rumahku ini menurunkan hujan. Membasahi dedaunan dan jalan-jalan menjadi bersih. Dengan begitu kopi ini kenikmatannya akan bertambah seiring dingin yang nantinya menyerang tubuh ini.

Terakhir suratmu masuk di alamat emailku dua minggu kemarin. Bertepatan dengan Hari Sabtu. Pagi hari. Saat itu aku sedang membereskan kewajibanku. Aku masih ingat betul.

Tidak seperti bulan-bulan yang telah lewat, ketika kau mengirmkan surat pastinya seminggu kemudian aku akan membalasnya dengan cerita yang panjang. Cerita yang mungkin tidak penting, bahkan tidak layak untuk diceritakan. Tapi hanya itulah cerita yang aku punya. Rutin aku membalas surat-suratmu. Ya, meski kau pun kadang membalasnya sampai sebulan kemudian, tapi itu sungguh menyenangkan untuk dilakukan.

Tapi untuk saat ini aku belum bisa membalas suratmu itu. Aku masih ingin menikmati kegelisahanku dan menahan dulu cerita-cerita yang ingin aku sampaikan padamu. Itu mungkin membuatmu menunggu begitu lama. Atau mungkin kau tak peduli lagi dengan surat-surat kita. Atau kau lupa akan surat balasanku atas kesibukanmu di sana. Entahlah. Itu urusanmu tapi aku berterimakasih jikalau kau masih sempat-sempatnya menunggu balasanku.

Atau begini saja. Akan aku nikmati dulu suasana di teras rumahku ini, dengan secangkir kopi, dan surat-suratmu, dan pikiran-pikiran risau untuk membalas suratmu, sedang kau di sana sibuklah dengan kegiatan-kegiatanmu, yang kata suratmu, membuat berbagai macam kue, membaca buku, menonton film, dan sekali-kali nantinya kau boleh merindukan balasan atas suratmu.

Oh iya, apa aku tidak usah membalas suratmu.

Bukankah minggu depan kau datang ke kotaku, ingin berbagi cerita, ingin meluapkan rindu, yang terpenting ingin berpamitan untuk waktu yang lama?

Oh oke, pada saat itu saja akan aku balas surat-suratmu dengan ocehan ria yang bersahabat.

MENULIS ITU UNTUK HIDUP SELAMA-LAMA-LAMANYA

tulis

Segala sesuatu yang hidup di atas muka Bumi ini bisa dipastikan akan mengalami yang namanya mati. Semuanya tanpa terkecuali. Tapi perihal kapan dan bagaimana proses mati itu sendiri sungguh tidak ada yang tahu. Satu orang pun.

Saya, Anda, kucing, kambing, sapi, ayam, semuanya pasti akan bertemu yang namanya kematian. Sebuah jalan kepastian yang tidak bisa dihindari, tidak bisa dipercepat, pun tidak bisa diperlambat. Kematian adalah kepastian.

Tapi yang tak bisa dimengerti adalah mengapa ada kesedihan di sana. Mengapa ada air mata. Mengapa ada ratap tangis dan kehilangan di sana. Mengapa ada satu rasa yang ganjil, satu rasa yang hilang. Bukankah kematian suatu kewajaran. Suatu hal yang memang lumrah untuk diterima. Karena pada hakikatnya semua yang hidup akan menjumpai apa yang namanya kematian.

Ternyata oh ternyata, ada satu rasa yang mendasari kenapa beberapa orang merasa sangat kehilangan. Merasa sangat bersedih. Merasa hari-hari kedepannya akan terasa sangat-sangat kurang.

Rasa itu adalah rasa cinta. Rasa yang melahirkan kasih sayang. Rasa yang menumbuhkan rindu. Rasa yang bisa meminimalisir kegelisahan. Rasa itulah yang akan mencuat muncul, bergelora, dan terbakar hebat jika  disandingkan dengan kematian. Karena kematian berarti perpisahan. Berpisah untuk waktu yang lama. Lama sekali.

Begitulah alur keluarnya air mata dan ratap sedih apabila mendengar kabar sebuah kematian. Ada kasih sayang di sana dan ada rasa kehilangan yang dalam.

————————–

Sebagai salah seorang yang pernah bertukar sapa dengan Mas Shiq (Muhammad Liudin), meski di dunia maya, saya cukup kaget dan tidak percaya ketika membaca kabar bahwa Mas Shiq sudah berpulang mendahului kita semua. Beliau adalah kawan saya di dunia kepenulisan WordPress ini. Beliau sering nangkring di kolom komentar tulisan saya. Beberapa tulisan malah saling sapa sok akrab. Padahal belum pernah bersua sama sekali.

Dari seringya Beliau komen duluan, maka tak jarang juga saya blogwalking ke situs Beliau yang sangat-sangat popular itu. Situs yang menyimpan banyak tulisan bermanfaat. Sebuah museum kehidupan dan catatan kesehariannya. Di situlah kadang saya ikut-ikutan nimbrung dan komen sekenannya. Tapi saya kira lebih banyak membaca saja dan tidak ikut mengeluarkan pendapat. Beberapa tulisan memang saya paham dan saya butuhkan, tetapi banyak juga tulisan Beliau yang sulit dipahami dan hanya saya skimming saja.

Begitu menginspirasi bagi saya. Sosok Mas Shiq adalah contoh tauladan untuk terus menulis dan bercerita bagi saya. Beliau punya penyakit Skizofrenia, suatu penyakit yang awalnya ditandai dengan gangguan  proses berfikir dan tanggapan emosi yang lemah. Keadaan inilah yang kadang memunculkan halusinasi dan paranoid pada Beliau.

Tapi Beliau memilih untuk melawannya. Salah satunya dengan cara menulis. Menulis apa saja. Bahkan Beliau juga sudah membuat beberapa e-book yang dibagikan gratis perihal metode dan cara agar ngeblog jadi asyik khususnya untuk pemula.

Lha iya, begitu gigihnya Beliau dalam berjuang untuk kesembuhannya, setiap hari adalah hari baru dan kesempatan untuk hidup lebih lama lagi, makanya Beliau selalu mencoba untuk berbagi kebaikan dan manfaat untuk sesama. Beliau tidak menyerah pada penyakitnya.

Beliau optimis untuk bisa sembuh dan bisa menjalani hari-harinya seperti orang-orang kebanyakan. Bisa jalan-jalan. Bisa makan apa saja. Bisa minum apa saja. Bisa tidur seenaknya. Tanpa memerdulikan jam-jam yang di sana ada namanya jadwal minum obat. Jam-jam yang membosankan bagi Beliau (katanya). Waktu yang sungguh membuat Beliau tidak keren.

Kegigihannya inilah yang menyadarkan saya bahwa keterbatasan tidak menghalangi untuk selalu berbagi. Selalu berusaha. Selalu punya harapan dan impian. Punya cita-cita. Kegigihan Beliau seolah cambukan bagi saya, bagi pribadi saya sendiri, untuk tidak menyerah pada keadaan dan keterbatasan.

Terakhir, saya mengucapkan selamat jalan Mas Shiq. Selamat bersenang-senang dengan impianmu yang abadi. Sungguh, saya kira di sana sudah tidak ada lagi dokter, sudah tidak ada lagi obat-obatan, Engkau sudah tidak punya kewajiban untuk membeli buah-buahan di pasar ataupun melayani pembeli lagi. Impianmu telah tercapai, Engkau telah lulus dalam semua ujian di dunia ini. Selamat istirahat. Selamat bersua dengan Kekasihmu. Selamat bercumbu ria dengan Tuhanmu.

Terimakasih telah berbagi pengalaman dan kisah-kisah yang menguatkan. Tulisanmu akan abadi. Hasil karyamu akan mengharumkan namamu. Pengalamanmu akan menjadi semangat bagi beberapa orang di luar sana. Kisah-kisahmu akan menguatkan hari-hari mereka. Sekali lagi terimakasih.

Salam dari saya, kangsole.

 

Satu Tempat untuk Merindu

Gambar-Bunga-Teratai-Yang-Kuncup

Sebut satu tempat yang membuatmu rindu.

Rindu apa saja.

Boleh tawanya, senyumnya, judesnya, atau bahkan marahnya.

Tempat yang jika diucapkan membuatmu melayang. Menerawang kenangan-kenangan masa lalu.

Membuatmu mengerti bahwa kamu pernah dimabuk asmara oleh manisnya sebuah percakapan.

Percakapan ringan dan bahkan sepele sekaligus tak penting.

Satu tempat apabila disebutkan kau seolah-olah bagian darinya.

Bagian dari kotamu.

Kota yang lain di hatimu.

Pernahkah kau merindu hanya pada sebuah kata tempat. Sama sekali tidak ingin mengunjunginya lagi. Atau ingin mengunjunginya lagi. Tidak masuk dalam daftar tujuanmu mengelana. Hanya sebatas rindu. Rindu yang dalam.

Karena di tempat itu ada satu nama yang entah kenapa Tuhan selalu membuat jiwa bergetar. Hati menggigil. Pikiran terhenti sejenak. Dan seketika lidah menjadi kelu.

Satu nama yang pernah megah di hatimu. Satu nama yang pernah menyirami malam-malam sunyimu. Satu nama yang pernah mengisi slot kosong dalam doa sujudmu. Satu nama yang jika kau bangun dari tidurmu kau tersenyum. Ohhh jangan kau gila hanya gara-gara satu nama. Sadarlah kawan.

Jika kau pernah. Pernah. Pernah mengalaminya. Maka kau telah menikmati salah satu keajaiban Tuhan dalam hati. Jaga tempat itu dalam doa dan hatimu.

#ALFY: Warna-warni Pelangi di Matamu

Untuk melatiku,

Saat tetesan hujan menepi di daun-daun melati, Saat pelangi nampak di lereng perbukitan, Dan ketika ribuan bintang menari di malam-malamku, Aku ingat saat-saat berjalan dan tertawa bersamamu, Berdua dengan berbagi rasa dan cerita.

Bersama ini izinkanlah aku mengutarakan cinta yang diwariskan Tuhan atas anak Adam untuk melatiku, Sang bunga dalam taman jiwaku.

Kehidupanku karenamu lebih berwarna dari pelangi-pelangi di langit biru. Senyummu adalah penawar rindu paling mujarab untuk kesakitan hatiku. Setiap sajak dan puisi yang pernah kugubah, seolah tak pernah bermakna jika tanpamu. Syair-syair Tuhan lebih indah jika hanya tertuju padamu.

Dan pada akhirnya Aku adalah orang yang paling beruntung. Seorang pria yang telah menemukan belahan hati. Yang bisa merasakan indahnya cinta dan pengorbanan. Berlayar di samudra kehidupan untuk mereguk rindu dan kasih bersamamu.

Hujan,

Belajar Istiqomah dalam Berbuat Baik | Cerita Maiyah Part 1


Minggu kemarin adalah pengalaman yang sangat menyenangkan bagi pribadi saya. Secara tidak langsung saya menjadi semangat kembali, hidup kembali untuk lebih giat dalam belajar dan belajar. Karena memang belajar tidak bisa sekali duakali langsung menemukan rasa dan manfaatnya.

Belajar harus tekun dan ulet, semangat dan pantang menyerah. Dan tulisan ini sendiri untuk menyemangati saya sekaligus sebagai bahan pengingat bahwa saya juga perlu reminder untuk melangkah ke depan.

Belajar yang saya maksud bukan berkutat pada diktat mata pelajaran atau membaca buku-buku atau menghafal teori-teori, belajar yang ini adalah belajar untuk istiqomah berbuat kebaikan. Siapa mengira bahwa berbuat kebaikan adalah semudah membalikkan telapak tangan, tapi mengistiqomahkannya sesulit menjulurkan lidah untuk menjilat hidung sendiri –konyol sih-.

Terus pengalaman apa yang saya dapatkan pada Minggu kemarin hingga membuat saya banyak merenung. Sebenarnya saya hanya mendengarkan ceramah dan cerita. Saya menghadiri majlis ilmu yang kebetulan hari itu ada tamu dari negeri seberang, Australia.

Banyak yang dibicarakan dalam majlis tersebut, dan juga banyak pula yang ingin saya tuliskan di sini sebagai catatan bahwa saya pernah secara langsung bertatap muka dengan orang hebat yang kaya akan pengalaman spiritual.

Majlisnya adalah Mocopat Syafaat yang langsung dipimpin oleh Cak Nun. Pernah dengar kan tentang majlis tersebut. Ada juga yang menyebutnya Komunitas Maiyahan atau juga Kenduri Cinta.

Malam itu merupakan malam yang setelah sekian lama nggak mengikuti majlis ilmunya Cak Nun, saya diberikesempatan untuk mengikutinya. Diajak sih sebenarnya.


Salah satu tamu yang hadir adalah Ibu Ade dari Perth, Australia. Beliau dulunya berasal dari Tasikmalaya, Jawa Barat, tetapi sekarang sudah menjadi warga Australia.

“Sebelum menjadi seperti sekarang ini, saya dulunya adalah seorang yang suka mabuk-mabukan, saya seseorang yang masuk ke zaman jahiliah lagi.”

Beliau blak-blakan dalam memperkenalkan dirinya. Setelah itu bercerita banyak tentang pengalamannya dalam beragama di Australia.

“Meskipun hobi saya satu tadi melambangkan orang jahiliah, tetapi saya yakin Allah masih sayang pada saya. Allah tidak marah pada saya. Allah selalu mengasihi saya. Saya sangat yakin bahwa Allah akan selalu berpihak pada saya.”

“Mungkin dengan keyakinan itu, perlahan saya dituntun ke jalan yang benar dan lurus. Alhamdulillah, saya sudah menjahui semua hobi buruk saya. Alhamdulillah.”

Kira-kira seperti itu yang disampaikan Bu Ade ke jamaah.

Di Australia, Bu Ade merupakan seorang penjual bakso. Beliau menuturkan bahwa hidup di Australia tidaklah mudah, tapi beliau perlahan-lahan mampu melewati itu semua.

“Saya selalu berusaha untuk menjadi orang baik. Siapa saja yang meminta pertolongan pada saya, Insyaallah saya akan siap menolong. Siapa pun. Entah itu orang Bule atau orang Indonesia sendiri. Bentuk pertolongan berupa materi atau pun tenaga. Saya selalu berusaha untuk membantu sesama.

Malahan kalau dalam sehari tidak ada yang meminta bantuan pada saya, saya merasa gelisah. Saya berpikiran ‘Apakah Tuhan saya sudah tidak membutuhkan saya?’. Saya selalu berdoa kepada Tuhan untuk mengampuni semua dosa yang sudah saya perbuat di zaman dulu.” 

Hampir kesemua jamaah memperhatikan Bu Ade dengan seksama. Setiap kalimat yang diucapkannya adalah sesuatu yang baru. Saya sempat berpikir, kalau dilihat dari penampilannya memang sekilas Bu Ade mirip dengan orang yang beragama Non-muslim. Dengan rambut hanya seleher dan diberi warna merah, orang akan mengira bahwa beliau bukanlah penganut agama Islam yang taat.

Tapi pepatah ‘janganlah menilai sebuah buku dari covernya saja’ ada benarnya juga. Setelah mendengar semua cerita yang dituturkan Bu Ade, saya berani berkata bahwa Bu Ade adalah orang yang luar biasa. Orang yang mempunyai pengalaman spiritual sangat dekat dengan Tuhannya. Beliau selalu yakin –bahkan dulu saat masih di zaman jahiliah- bahwa Allah selalu sayang kepadanya dan tidak akan meninggalkannya sedetik pun.

Saya pribadi sendiri merasa keyakinan saya belum sekuat itu. Belum seyakin itu. Saya masih berusaha dan berusaha. Bu Ade melanjutkan,

“Hari tertentu saya biasanya membagikan bakso secara cuma-cuma pada orang-orang yang berkerumun. Entah di lapangan atau di jalan-jalan. Dengan membawa mobil, saya berharap bakso saya lebih dikenal masyarakat Perth. Secara tidak langsung saya mengenalkan makanan Indonesia sekaligus makanan halal kepada bule-bule.”

Kegiatan di atas dibenarkan oleh Cak Nun saat menanggapi cerita Bu Ade. Meski sepertinya hanya teknik marketing, tapi kalau ditelaah lebih jauh ada benarnya juga. Bu Ade secara tidak langsung memperkenalkan makanan halal, makanan orang Islam kepada orang-orang yang tidak terlalu mementingkan makanan halal-haram.

Masih banyak cerita yang disampaikan oleh Bu Ade pada malam itu. Semoga saya bisa menuliskannya di catatan-catatan selanjutnya. Intinya setelah menghadiri majlis yang selesai pukul setengah empat pagi itu telah membuat saya banyak merenung dan gelisah. Ternyata perjalanan saya untuk mengabdi pada Allah masihlah cukup panjang dan perlu dipergiat dan diperbanyak.

Kebaikan-kebaikan yang saya lakukan masih berkutat pada diri saya sendiri. Saya masih perlu belajar banyak pada Bu Ade dan Cak Nun yang kebaikannya sudah menyangkut orang lain dan alam sekitarnya.

“Kalian jangan terlalu senang dan nyaman jika dalam satu hari tidak ada yang meminta bantuan atau pertolongan pada kalian. Kalian itu harus senang membantu dan menolong. Sekuat tenaga dan materi kalian. Kalaupun tidak mau menolong, minimal jangan menghujat atau menghakimi (menjudge) mereka yang meminta bantuan.” Tambah Bu Ade.

Catatan ini saya tutup dengan salah satu ungkapan keras yang disampaikan oleh Bu Ade.

“Mungkin kalian pernah berdoa dan membuat statement bahwa ‘Tuhan, semua ini hanyalah titipan darimu’ tapi saat ada sesama kalian yang meminta uang atau meminjamnya kalian pura-pura tidak punya.”