Sepenggal Cerita dari Negeri Seribu Masjid

maroko post card
credit dari kimkimdotcom

Malam ini saya masih menekuri sepenggal cerita yang baru saja saya terima sore tadi. Cerita dalam selembar kartu pos, dengan dua perangko bergambar wajah seorang lelaki tampan berumur setengah abad, dengan ada kata ‘Royaume Du Maroc’ di bawahnya. Saya tahu kartu pos ini berangkat dari salah satu tempat di Marokko sana. Di baliknya terdapat sebuah foto ‘Marrakech City Centre’ lengkap dengan keriuhan orang-orangnya, saya mengetahui ini karena pengirimnya alias dia mendiskripsikan dalam ceritanya.

Kata demi kata saya terjemahkan dengan bahasa sendiri. Bahasa nenek moyang saya. Ditemani secangkir kopi dan seorang teman yang sedang rebahan sambil sibuk memainkan gamenya.

“Kau tahu, tidak semua orang menikmati momen seperti ini. Secangkir kopi, sepenggal cerita, sepoi angin di luar sana, ramainya jalanan, dan khusuknya para pembaca ayat-ayat suci Tuhan di masjid-masjid dekat kamar saya. Dan ketika kau mulai membacanya, seolah-olah kau bertemu penulis cerita dan bersama-sama mengarungi kisahnya. Menawan bukan.”

Dia bercerita bahwa kali ini dia melakukan perjalanannya ke Marokko, yang ia sebut sebagai negara dengan seribu masjid, dengan muslim sebagai penduduk terbesarnya. Sampai di sini saya berpikir, bahwa Indonesia layak mendapatkan gelar negara dengan berjuta masjid. Berjuta-juta masjid dan musholla. Pun dengan penduduk yang mayoritasnya muslim. Benar bukan?

Kisahnya dilanjutkan dengan sebuah pertanyaan, ‘Kamu mungkin berpikir bahwa selama perjalanan ini saya mudah dalam menjalankan ibadah sholat kan?’ Dan dia jawab dengan ‘tidak demikian’. Dia bercerita bahwa meskipun negara itu mayoritasnya muslim, dia masih mendapatkan perlakuan yang dia anggap sedikit diskriminatif.

Alasannya karena pakaian yang dia kenakan masih kurang panjang dan belum menutupi seluruhnya layaknya ukhti-ukhti kalau di Indonesia. Padahal dia sudah menggunakan jilbab dan pakaian yang tertutup. Sopan lah bahasa manisnya.

Saya sela dengan seruputan kopi yang sudah dingin ini. Satu gelas yang dinikmati berdua. Saya lihat dalam cangkir sudah tampak ampas kopi yang hitam pekat. Mungkin ini pertanda bahwa kisahnya memang sepenggal itu, dan cerita yang saya bagikan juga sebatas ini.

Saya ingin bilang ke dia, bahwa yang sedang dia alami di sana, kini di Indonesia di beberapa tempat yang red tidak mau saya sebut, sudah mulai ada praktek-praktek demikian. Bahwa yang mau masuk ke masjid harus hijrah dulu dalam berpakaian. Harus menggunakan jilbab dll. Malah dengan jelas di pintu gerbang masuk masjid ada tulisan ‘kawasan wajib berjilbab dan berpakaian sopan’.

Ah saya tak mau mengomentari lebih lanjut soal itu.

Di akhir cerita yang dia tulis, dia melontarkan sebuah pertanyaan, ‘Kamu juga berpikir bahwa pada dasarnya masjid harus bisa menerima semuanya bukan?’

Jawaban saya. Ya, seharusnya memang demikian. Masjid adalah tempat ibadah siapa saja yang beragama muslim. Mereka berhak bercumbu ria dengan Tuhannya dan memuji kekasih-Nya di masjid itu. Seharusnya tidak ada oknum yang berkepentingan mewajibkan ini itu di dalamnya. Selagi muslimnya tahu aturan dan tidak bertindak negatif.

Kecuali memang masjid yang dari awal dibangun untuk kepentingan kelompok tertentu, dan kelompok tertentu yang ingin mengubah sebuah masjid yang sudah sesuai pada dasarnya.

Kelihatannya malam sudah semakin larut. Suara-suara orang mengaji juga sudah mulai berhenti. Jalanan juga kedengaran hanya beberapa suara kendaraan yang lalu lalang. Beberapa teman di bawah sudah pada tidur, tapi teman yang menemani saya mengulas cerita ini masih sibuk dengan gamenya. Saya lihat sudah berbatang-batang rokok yang dinikmatinya. Pantas saja kopi yang saya buat cepat habisnya.

Kartu pos ini saya simpan lagi di sebuah buku tebal bersama kartu pos-kartu pos lainnya. Bukunya saya simpan bersama dengan buku-buku koleksi saya.

Masih di malam Bulan Ramadhan, selesai membaca ceritanya tak lupa sepenggal doa saya kirimkan kepada semua teman-teman saya yang sedang merantau di tanah orang. Entah mencari ilmu ataupun sedang mencari rezeki. Semoga selalu dalam lindunganNya.

Kututup cerita ini dengan menghabiskan sisa kopi dalam cangkir kecil yang menemani saya. Saya ingin menunjukkan bahwa yang membuat kopi itu saya, pun yang bertanggung jawab menghabiskannya juga saya. Sekian.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s