Pagi yang ceria ku petik Mawar di taman. Mawar yang harumnya menenangkan hati dan menentramkan jiwa. Telah lama aku menunggu mekarnya. Di hari-hari yang lalu telah kupupuk ia dengan kesetiaan dan ketulusan. Kurawat sepenuh hati dengan segala harap kupunya.
Semerah bibirmu dikala melantunkan bait indah puisi, Mawar itu memabukkan setiap mata yang memandang. Seharum bau tubuhmu saat menari di gelap gulita bayangku, aku abadikan ia dalam sudut hatiku yang paling rahasia.
Dengannya.
Aku menari di antara pantai dan karang. Aku limbung bersama angin bukit dan lembah. Aku merasa terbang bersama awan dan burung-burung. Gairahku tergerak hebat oleh alunan shimpony kehidupan. Melodinya membawaku ke hamparan harapan yang indah penuh keajaiban.
Aku percaya. Bumi yang dingin nan sunyi telah melahirkan setangkai keindahan ragawi. Kesunyian telah memeluknya begitu erat. Surga telah menyiraminya dengan tetesan-tetesan embun yang suci.
Setangkai kehidupan itu bermakna. Mempunyai tafsirannya sendiri. Jelmaan dari bidadari yang menghuni ketenangan batin. Gambaran dari luasnya warna dan dalamnya wewangian.
Tak ada salahnya aku memetiknya dalam kerinduan. Seperti halnya Tuhan yang telah memetik Layla dan Majnun untuk kerinduan-Nya melihat mereka berdua bersulang. Tak ada alasan pasti untuk membayar sebuah kerinduan itu. Sama halnya diriku yang merindumu dalam waktu dan hanya bisa sebatas memetik setangkai Mawar untuk bisa mengenangmu seutuhnya.
Detik demi detik yang tak bisa diulang, maka Mawar tetaplah Mawar. Yang mulanya merah perlahan serupa malam yang sepi yang menyedihkan. Yang mulanya harum mewangi, perlahan memudar bersama angan-angan yang tergerus logika.
Dan pada akhirnya Mawar tinggallah Mawar yang menyisakan tangkai tak berdosa. Bersama alunan kepiluan dan sedihnya kerinduan, ku peluk ia dalam diam tanpa ada tetesan air mata di sela kesunyian.
Harum masih tersisa dalam kalbuku hingga detik-detik akhir layunya. Puja-puji surga telah kugubah untuk menghormati keanggunannya sebelum ia jatuh tersungkur memeluk sunyi. Rasa syukur telah kuucap ribuan kali dalam debar yang gelisah atas gelap yang menelannya. Aku merana dalam diam, hina dalam kenangan, dan menangis dalam pelukan angan.
Dan biarlah berlalu apa yang memang menjadi masa lalu. Dan lupakan apa yang telah menjadi kenangan menyedihkan.