Title: Aisyah Ibunda Kaum Mukmin
Author: Kamran Pasha
Translator: Hilmi Akmal
Publisher: Zaman
Publisher: 2014 terjemahan Indonesia
Page: 751 p
Detail: Goodreads
Kisah fiksi yang berdasarkan sejarah.
Siti Aisyah yang mempunyai panggilan kesayangan Humairah dari Rasulullah merupakan salah satu istri setelah Khadijah yang paling dicintai oleh Rasulullah SAW. Setelah meninggalnya Khadijah, Allah menitipkan Siti Aisyah yang merupakan putri Abu Bakar Ash Shidiq untuk menjadi Ibunda Kaum Mu’min. Dalam novel ini, Aisyah digambarkan oleh penulisnya merupakan gadis yang periang dan cantik. Aisyah tak menyangka setelah dirinya mengalami haidh pertama, satu tanggung jawab harus ia laksanakan.
Menjadi istri Rasulullah SAW di usia sembilan tahun. Usia yang masih belia untuk menjadi Ibunda kaum Mu’min. Sebenarnya ini bukan masalah tabu, pada zaman itu pernikahan dini memang sangat lazim terjadi. Begitupun juga dengan Aisyah, gadis kecil yang sangat menuruti perintah ayahnya mau tidak mau harus menjadi seorang istri. Untuk mengimbangi keluarga Rasulullah, sebelumnya Rasulullah telah menikahi janda sepuh bernama Saudah binti Zama yang sudah berpengalaman dalam mengurus rumah tangga. Dengan ini, beban rumah tangga Aisyah tidak terlalu berat.
Seperti wanita pada umumnya yang di madu, Aisyah digambarkan punya sifat-sifat ketidaksukaan kepada perempuan-perempuan lain yang menjadi istri Rasulullah. Ini mungkin sifat wajar seorang perempuan yang juga dialami oleh Aisyah. Ketidaksukaan yang dimakasudkan bukan ketidaksukaan yang begitu ekstrem dan bisa menimbulkan hal negatif pada orang lain. Ketakutan yang paling mengganggunya adalah ketika Rasulullah tidak lagi menjadikan dirinya sebagai istri yang paling dicintai dan Rasulullah lebih memilih perempuan-perempuan lain yang lebih cantik atau mempunyai kulit lebih mulus.
Rasulullah dalam novel ini digambarkan sebagai seorang laki-laki yang bijaksana dan juga sayang pada keluarga. Pun pada saat perang, Rasulullah kadang membawa Aisyah ke medan pertempuran yang menandakan bahwa Aisyah merupakan istri yang paling disayangi oleh Rasulullah.
Seperti novel pada umumnya yang menawarkan konflik-konflik, sehingga pembaca merasa tegang dan penasaran, pun demikian dengan novel ini. Karena berlatar di zaman yang penuh konflik, tentunya novel ini menampilkan kisah-kisah perang yang bersumber dari konflik. Tapi ada salah satu konflik yang membuat pemeran utamanya, Aisyah sedih dan dikucilkan oleh masyarakat Arab.
Bermula ketika Aisyah tertinggal dari rombongan perang. Pada saat selesai perang, waktu itu aisyah diajak oleh Rasulullah untuk lomba lari sebagaimana olah raga yang digemari oleh Aisyah. Namun setelah lomba lari usai, kalung pemberian Rasulullah sebagai mahar perkawinannya hilang tak tahu kemana. Akhirnya Aisyah memutuskan untuk mencarinya di tempat dimana tadi melakukan lomba lari dengan Rasulullah. Pada saat pencarian inilah, petaka menghampiri Aisyah. Aisyah tidak sadar bahwa rombongan perang telah meninggalkannya sendirian di gurun tanpa bekal dan tanpa tempat tinggal. Meskipun kalungnnya ditemukan, ketakutan dan kesedihan akan kematian tetap menghampiri hati Aisyah.
Seharian Aisyah diam dan menunggu prajurit yang mungkin menyadari bahwa ia tak berada dalam rombongan. Lelah menunggu, malam harinya Aisyah tak sadarkan diri karena tanpa air dan perbekalan apapun. Pagi harinya Allah mengirimkan seorang prajurit yang gagah nan tampan bernama Safwan untuk menemui Aisyah. Pemuda itu ternyata seorang prajurit yang kebetulan tidak berniat untuk mencari sang Ibunda Kaum Mu’min.
Kuasa Allah yang menggerakkan hati pemuda tersebut sehingga sampai bertemu Aisyah di hamparan gurun pasir yang luas.
Setelah sampai di Madinah, kota tempat menetap umat beriman bersama Rasulullah, fitnah pun menyebar dengan sangat cepat. Semua orang membicarakan kelakuan Aisyah berduaan dengan Safwan si pemuda tampan yang menjadi primadona gadis-gadis Madinah.
Dalam novel ini, Rasulullah digambarkan sebagai manusia biasa yang tidak tahu segalanya kecuali atas izin-Nya. Begitupun saat Aisyah terkena fitnah oleh orang-orang Madinah. Tak hanya Abu Bakar -ayah Aisyah, ibunda Aisyah pun sulit percaya atas apa yang telah dilakukan Aisyah dengan si pemuda. Meski penjelasan telah dipaparkan, orang-orang terdekat Aisyah dan Rasulullah sulit untuk percaya apa yang telah dikatakan Aisyah dan lebih condong ke fitnah yang telah menyebar. Pun Rasulullah juga merasakan hal yang sama.
Pada akhirnya Allah lah yang membersihkan nama Aisyah dari fitnah-fitnah yang sudah menyebar seperti angin yang berhembus itu. Turunlah ayat yang berisikan bahwa seseorang tidak boleh menuduh orang lain berzina tanpa bisa menghadirkan empat orang saksi. Dan apabila tidak mampu menghadirkan empat orang saksi maka yang menuduh akan terkena hukuman sebagai ganjaran fitnah yang telah disebarkan. Dengan pembelaan melalui ayat suci AlQuran, akhirnya nama Aisyahpun kembali bersinar di tanah Madinah.
Kamran Pasha (Author) yang juga merupakan seorang keturunan Nabi Muhammad dari jalur putri beliau Fatimah dan cucu beliau Husain menyajikan novel ini dengan sangat menarik dan mudah untuk dibayangkan.
Saya ketika membaca novel ini merasa sangat dekat dengan Nabi Muhammad dikarenakan sudut pandang yang diambil oleh penulisnya yaitu dari sudut pandang istrinya, Aisyah.
Kehidupan beliau, amalan beliau serta keistimewaan istri-istri beliau yang lain pun tersaji sebagai panutan yang semestinya diikuti oleh seluruh umat islam. Penulis novel ini berpesan bahwa tidak seharusnya menjadikan novel ini sebagai dasar sejarah berdirinya islam melainkan gambaran besar tentang perjuangan-perjuangan yang dilakukan oleh umat muslim dengan Rasulullah sebagai pemimpinnya.
Kenapa saya merekomendasikan novel ini untuk dibaca?
Pertama, kita akan mengetahui setidaknya garis besar sejarah perjuangan islam dan berdirinya imperium islam.
Kedua, setelah membaca novel ini secara tidak langsung kita sebagai umat muslim akan merasa sangat menyesal jika kita melalaikan sholat dan amalan-amalan sunnah lainnya. Kenapa? Karena dalam novel ini digambarkan begitu sengsaranya dan begitu menyedihkannya perjuangan-perjuangan yang dilakukan oleh Rasulullah untuk mengenalkan islam kepada dunia. Banyak sekali pengorbanan-pengorbanan yang dilakukan Rasulullah.
Sebagai manusia biasa, beliau harus rela melihat paman-pamannya meninggal di peperangan. Beliau juga harus rela kehilangan sahabat-sahabat setianya. Meskipun sudah menjadi takdir Ilahi beliau tentunya merasakan kesedihan layaknya manusia biasa.
Ketiga, setelah selesai membaca novel ini, kita akan mendapatkan pertanyaan-pertanyaan sepert Apakah sejarah islam dulu memang seperti ini? dan dengan demikian akan timbul rasa penasaran dalam diri kita yang menyebabkan pencarian lebih mengenai literatur-literatur perihal perjuangan Nabi dan bangkitnya Agama Islam.
Keempat, Banyak sekali pelajaran-pelajaran dan hikmah kehidupan yang didapatkan dari novel ini. Salah satunya adalah saling menghormati antara satu sama lain umat manusia, meskipun itu budak atau pembantu atau pegawai rendahan. Hal ini dicontohkan Al Quran ketika menyebut nama Zaid bin Haritsah yang merupakan anak angkat Rasulullah bersama Siti Khadijah. Dulunya Zaid merupakan seorang budak, namun setelah mengabdi dan setia kepada Rasulullah, ia pun akhirnya diangkat sebagai bagian keluarga Nabi.
Allah melalui Al Quran memberikan penghormatan kepada Zaid dengan menuliskan namanya dalam salah satu ayatnya. Zaid disebutkan rela menceraikan istrinya Zainab binti Jahsy demi kesetiannya pada Rasulullah dan mengiklaskan mantan istrinya untuk dinikahi oleh Rasulullah. Wallahu A’lam.
Tentu masih banyak pelajaran-pelajaran lain yang bisa diperoleh oleh masing-masing individu ketika selesai membaca novel ini.
Buku ini adalah karya fiksi. Kendati berdasarkan pada peristiwa-peristiwa sejarah, buku ini bukanlah sejarah dari peristiwa-peristiwa tersebut. – Kamran Pasha