Title: When Broken Glass Floats
Author: Chanrity Him
Translator: Utti Setiawati
Publisher: Penerbit PT Elex Media Komputindo
Publisher: 2000
Page: 444 p
ISBN:
Detail: Goodreaads
Pertama, saya menemukan buku ini tidak sengaja di toko buku. Kedua, Alhamdulillah waktu itu buku ini merupakan salah satu buku yang lagi kena diskon. Ketiga, setelah sampai pondok ternyata bukunya bagus banget karena sekilas membaca prolognya. Keempat, saking bagusnya saya ngebut untuk menyelesaikannya. Kelima, hanya butuh seminggu untuk melahap semua kata dan kalimat dalam buku ini.
When Broken Glass Floats.
‘Ketika pecahan kaca mengapung’ merupakan buku true story perjalanan penulisnya di bawah Rezim Khmer Merah. Adalah Chanrthy Him yang menjadi pemeran utama sekaligus penulis buku ini yang menyajikan perjalanan hidupnya melalui rangkaian kata dan paragraph yang rapi.
Coba tengok di Google mengenai Rezim Khmer Merah! Kebanyakan yang keluar adalah pembantaian besar-besaran yang dilakukan di Negara Kamboja oleh Khmer Merah dan tentara-tentaranya.
Setelah saya selesai membaca buku ini, sedikit saya akan ulas mengenai perjalanan Him yang buanyak sekali lika-likunya.
Buku ini merupakan buku terjemahan dari judul aslinya ‘When Broken Glass Floats’. Diterjemahkan oleh Utti Setiawati dan diterbitkan oleh Penerbit PT Elex Media Komputindo Jakarta. Awal munculnya buku ini pada tahun 2000 untuk Bahasa Inggrisnya, sedang versi terjemahannya baru keluar tahun 2011.
Pendapat saya, setiap buku apapun yang di terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia kualitas dari Translator itu sangat berpengaruh. Dalam buku ini Mbak Utti saya kasih jempol 2, karena bahasanya ringan dan dalem banget menjelaskan detail teks aslinya. Dalam segi pemilihan dan penggunaan kata pun, Mbak Utti banyak sekali menyelipkan kata-kata yang mudah dipahami dan juga tidak berulang-ulang.
Setelah googling, desain sampul versi terjemahan dan aslinya kurang lebih 12-13 lah. Mirip banget. Bedanya dalam versi terjemahan ada sedikit tambahan kata-kata bahasa Indonesia seperti ‘Tumbuh Besar di Bawah Rezim Khmer Merah’ dan ulasan dari Ha Jin, seorang pengarang ‘Waiting’ yang berbunyi ‘Kisah Menyedihkan yang disampaikan dengan kejujuran, pengendalian, dan martabat.’
Dari sampulnya saja, ulasan dari Ha Jin langsung menarik saya untuk membaca buku ini. Nyambi belajar sejarah kelamnya Kamboja, nyambi juga memperkaya kata, saya juga mencari makna yang disampaikan oleh Him melalui buku ini.
Sebelum saya me-review di bagian isi, saya ingin menuliskan penggalan pesan yang mirip seperti puisi di bagian prolognya.
Tolong, Beri Kami Suara
Saat pecahan kaca mengambang,
suatu bangsa tenggelam,
jatuh ke jurang.
Dari kuburan massal di negeri yang dulu ramah,
darah mereka meresap ke bumi.
Roh mereka yang menderita berbisik padanya,
“Kenapa ini mesti terjadi?”
Suara mereka menggema dalam dunnia roh,
diteriakkan lewat jiwa-jiwaorang yang selamat,
bertekad menjalin komunikasi,
memohon pada dunia:
Tolong kenang kami.
Bicarak untuk Kami.
Tolong beri kami keadilan.
C.H.
Pesannya bikin merinding. Tapi, setidaknya malah bikin penasaran dengan isi dari buku ‘When Broken Glass Floats’ ini.
Dalam buku ini Him (panggilan gampang saya) dipanggil dengan sebutan Athy, merupakan panggilan dari orang tua dan juga keluarganya. Dia memanggil ayahnya dengan sebutan ‘Pa’ dan memanggil ibunya ‘Mak’.
Him memiliki 9 saudara, diantaranya Chea (ce), Ra (ce), Tha (co), Ry (ce), Than (co), Avy (ce), Bosdaba (co), Vin (co), dan Map (co) (keluarga besar bro).
Sebelum rezim Khmer Merah berkuasa, Him hidup dengan nyaman dan berkecukupan di Phnom Penh bersama keluarganya. Hemat saya, mereka merupakan keluarga diatas ekonomi sedang, istilahnya kaya lah.
Pada lembaran-lembaran awal buku ini, Him menceritakan sekaligus mengenalkan semua anggota keluarganya. Asal-usul keluarga Ayah dan Ibunya, pernikahan kedua orang tuanya, serta beberapa kelahiran adik-adiknya ketika masih di Phnom Penh.
Pada umur 8 tahun Him harus merasakan kehilangan saudara tertuanya, Tha. Abangnya itu meninggal karena terserang suatu penyakit. 2 tahun kemudian adiknya yang baru lahir, Bosaba juga harus meninggal, karena lahirnya yang prematur akibat Ibu Him saat mengandung mengalami trauma atas kematian Tha.
Tahun 1975 merupakan awal kekuasaan dari Khmer Merah. Dari sini, cerita sedih dan penuh penderitaan dimulai. Pemeran utamanya yang merasakan penderitaan dalam buku ini yaitu Kedua orangtua Him, dan semua saudaranya yang masih hidup, Chea, Ra, Ry, Than, Avy, Vin, dan Map.
Kekejaman Khmer Merah yang pertama dan yang menimpa keluarga Him yaitu ketika Ayah Him dan paman-pamannya harus mengikuti sebuah rapat yang diadakan Khmer Merah di suatu tempat. Tetapi, kenyataanya mereka di giring ke suatu ladang yang luas. Mereka disuruh menggali kuburannya sendiri dan setelah itu mereka di bunuh dengan cangkul oleh tentara-tentara Khmer Merah.
Pembunuhan ini terjadi setelah seluruh penduduk Phnom Penh disuruh pindah ke desa-desa untuk menjalani kerja paksa. Kesedihan mendalam yang dialami oleh Him atas kematian Ayahnya sangat jelas tergambar dalam kata-kata buku ini. Mengingat Him merupakan anak yang paling dicintai oleh ayahnya di antara saudara-saudaranya.
Tidak berhenti disitu saja, perubahan kehidupan yang dialami oleh keluarga Him terbalik 180 derajat. Rezim Khmer Merah telah merenggut semuanya. Kebahagiaan, persahabatan, kekeluargaan, makanan, hasil panen, dan apa saja yang dimiliki oleh Him dan keluarganya.
Diceritakan oleh Him dalam kesehariannya ketika sudah menjalani kerja paksa, makanan berupa kerak nasi dan kepala ikan kecil merupakan barang mahal yang jarang ditemukan. Keluarganya sehari-hari hanya makan bubur cair dan daun-daunan dari hutan. Malahan garam pun hampir seperti permata yang sulit diperoleh. Akibatnya tidak jarang keluarga dan teman-teman Him mengidap penyakit ‘busung lapar’. Begitu memprihatinkan.
Dalam Rezim Khamer Merah sebuah kematian merupakan kabar yang sudah menjadi kebiasaan. Hampir setiap hari ada saja yang meninggal karena kelaparan maupun karena terserang penyakit yang tidak bisa disembuhkan.
Begitu juga ketika Vin adik Him meninggal karena terserang penyakit disentri, ada percakapan yang menyayat hati antara Ibu Him dan Vin.
“Mak.. Mak, tolong izinkan aku tidur di dekat Mak. Aku kedinginan,” Vin memohon, suaranya lirih, lembut dan sedih. “Aku kedinginan, Mak. Tolong izinkan aku tidur bersama Mak satu malam lagi.”
“Anak Mak, Mak tidak ingin kau menulari saudara-saudaramu. Tidurlah disebelah sana, Nak,” Pinta Mak.
“Mak Tolong izinkan aku tidur dengan Mak semalam lagi. Hanya satu malam lagi, Mak. Besok aku akan pergi ke rumah sakit agar merasa lebih baik. Tolonglah, Mak, aku kedinginan,” sekali lagi Vin menjerit.
“Maafkan Mak, koon (panggilan anak orang Kamboja).” Tidak pernah Mak begitu tidak berdaya. Begitu apologetis.
Anak yang ia lahirkan ke dunia ini tidak bisa dipuaskan. Dan fakta menyakitkan ini perlahan-perlahan membunuhnya.
(Teks terjemahan pada halaman 126).
Seperti itulah kematian menghampiri saudara kecil Him, Vin. Saudara kecil Him lainnya Avy, meninggal di tempat yang disebut rumah sakit karena digigit semut. Bukan semutnya yang beracun, melainkan Avy telah terserang penyakit bengkak karena kekurangan yodium. Setelah dibawa ke rumah sakit, semut menggigit bagian kakinya dan akhirnya seluruh cairan dalam tubuh Avy keluar. Ia pun meninggal dunia.
Dalam buku ini juga diceritakan keberanian-keberanian Him dan saudara-saudaranya ketika meninggalkan camp kerja paksa. Mereka harus mengendap-ngendap dan sembunyi-sembunyi untuk pergi dari camp menemui Mak ataupun bertemu antar saudara. Meski pertemuan itu hanya semalam, dan paginya harus kembali lagi. Rindu telah menjadikan kekuatan tersendiri bagi Him.
Yang menjadi puncak kesedihan Him yaitu ketika Mak dan Chea, kakak tertuanya harus pergi selama-lamanya. Mak Him meninggal juga karena terserang penyakit disentri di rumah sakit. Tetapi, Mak Him mendapatkan perlakuan yang lebih parah dari penjaga rumah sakit. Karena alasan obat yang tidak memadai, Mak Him harus dipindahkan di tempat yang katanya ‘rumah sakit darurat’. Kenyataanya, dia diasingkan di sebuah tempat yang jauh dari camp-camp manapun.
Him hanya sempat sekali mengunjungi ibunya bersama dengan Map, adik laki-lakinya. Ketika itu, niat Him dan Map untuk membawakan Ibunya jagung rebus. Tetapi, sampai di tempat Ibunya, jagung yang Him bawa ternyata belum matang. Kejadian ini merupakan kebodohan Him yang memang Ia akui sendiri. Him sangat menyesal karena kebodohannya ini.
Beberapa minggu kemudian, Him mendengar kabar bahwa Ibunya di buang ke dalam sumur oleh tentara Khmer Merah.
Gadis itu mendongak padaku. “Mereka –mereka melempar ibumu ke dalam sumur… sumur orang mati,” dia berusaha keras mengatur napas, menyampaikan berita itu dengan napas terengah-engah. “Ibumu masih hidup… Dia mengerang saat dibawa pergi.”
Jantungku berdegup cepat, naik menempel di dada. Kupikir aku mendengar yang dia katakana, tapi tak ada yang kupahami. Seolah ada yang menyumbat antara telinga dan otakku. Aku membalas tatapannya. “Apa katamu tentang Ibuku? Apa yang terjadi pada ibuku?”
“Tentara Khmer Merah melempar ibumu ke dalam sumur… dan dia masih hidup,” kata gadis itu terbata-bata, sorot matanya yang tajam menyorot ke dalam mataku.
(Teks terjemahan pada halaman 255-256).
Sedangkan kakak tertua Him, Chea meninggal karena kelaparan dan terserang demam tinggi. Him sangat berduka atas kematian kakaknya, dia tahu bahwa Chea lah yang menggantikan peran Mak dalam keluarganya. Chea merupakan kakak yang paling disayang oleh Him, dia sangat iri atas kecerdasan Chea.
Saking berdukanya atas kematian Chea, Him bersumpah sesaat setelah melihat kakaknya harus di kubur oleh paman-pamannya.
“Chea, kalau aku selamat, aku akan belajar ilmu kedokteran. Aku ingin menolong orang-orang karena tidak bisa menolongmu. Kalau mati dalam kehidupan ini, aku akan belajar ilmu kedokteran di kehidupanku yang berikutnya.”
(Teks terjemahan pada halaman 314)
Ketika pecahan kaca mengambang, maka tidak lama pecahan kaca tersebut akan tenggelam ke dasar air. Begitulah penggambaran Rezim Khmer Merah dalam buku ini. Kekuasaannya hanya bertahan beberapa tahun saja.
Menjelang lembaran-lembaran terakhir dalam buku ini, emosi saya saat membaca mulai stabil lagi. Setelah penggambaran penderitaan Him yang begitu kerasnya, serta kesedihan Him yang bisa bikin mbrebes mili. Cerita berubah menjadi semangat hidup dan semangat untuk belajar.
Paman Seng yang merupakan adik Ayah Him dikabarkan masih hidup dan sedang tinggal di Oregon, Amerika Serikat. Karena ikatan keluarga yang begitu erat, Paman Seng memutuskan untuk mengurus kepindahan seluruh keluarga besarnya untuk pindah ke Amerika Serikat.
Sebelum Him pindah ke Amerika Serikat, di akhir-akhir cerita, Ia menceritakan semangatnya untuk menjadi seorang dokter ataupun perawat di rumah sakit tumbuh lagi. Ia kerja keras dalam mempelajari bahasa Inggris, bahasa-bahasa kedokteran, dan pelajaran apa saja di camp-camp pengungsian.
Him muda akhirnya menjadi transleter di puskesmas camp untuk melayani para pengungsi yang datang dari berbagai Negara (ini ceritanya panjang). Dia pun sempat jatuh hati pada dr.Tanedo yang sedang bertugas di puskesmas tersebut. Ketika itu usia Him muda masih 16 tahun.
Pada hari yang bersejarah bagi Him, yaitu ketika Ia harus meninggalkan tempat kelahirannya, negara yang menyimpan semua kenangan ayah dan ibunya, kenangan kakak dan adiknya, dan penderitaan yang pernah Ia lalui untuk terbang ke Amerika Serikat memulai hidup baru.
Saudara Him yang selamat dan ikut ke Amerika Serikat yaitu Ra, Ry, Than, dan Map.
“Pengetahuan tak bisa dihancurkan oleh rayap… Orang bisa menggunakannya dan tidak pernah kehabisan.”
(Sajak yang pernah dibacakan oleh Chea kepada Him di halaman 31).
Catatan:
*Membaca buku ini bisa menyebabkan kantuk berat, karena tersusun atas 444 halaman.
*Tapi, menyelesaikan buku ini akan mendapatkan pelajaran hidup yang luuuuuaaar biasaa banyak.
*Bagi yang alergi dengan cerita menjengkelkan dan menguras emosi, saya sarankan untuk tidak membaca buku ini.